Senibudayabetawi.com – Masyarakat Betawi telah akrab dengan berbagai jenis kesusasteraan, baik secara tulis maupun lisan. Ini tak lain karena sastra Betawi diperkirakan telah mulai berkembang sejak abad ke-19. Kedua jenis ini kerap diikuti dengan gaya humor yang kental khas Betawi.
Berbagai jenis sastra lisan Betawi yang berkembang mulai dari pantun dan syair hingga tradisi bercerita seperti Sahibul Hikayat, Gambang Rancak, dan Buleng. Sementara, sastra dalam bentuk tulisan kerap kali menungkapkan keseharian masyarakat Jakarta .
Salah satu sastrawan Betawi yang berperan penting dalam mengembangkan kesusastraan Betawi adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, yang lazim disingkat Muhammad Bakir. Sejak Abad ke 19, Bakir sudah memperkenalkan dunia sastra kepada masyarakat melalui taman bacaan yang ada di rumahnya di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat.
Keluarga Muhammad Bakir
Muhammad Bakir merupakan orang Betawi asli. Ayahnya dikenal dengan nama Syafian yang mempunyai nama kecil Cit. Ia adalah seorang pengarang juga. Dalam naskah-naskah, nama tersebut kadang dikenal dengan Cit Sapirin bin Usman bin Fadil. Kadang pula dikenal dengan Guri Cit bin Usman bin Fadil.
Dalam sehari-hari, Muhammad Bakir tinggal bersama ibunya dan tidak mempunyai pekerjaan lain selain menulis. Profesi itu menjadi sumber penghasilannya hingga akhir abad ke-19. Muhammad Bakir menyalin karangannya sendiri hingga karya klasik lain hingga puluhan jilid.
Tak hanya itu, Muhammad Bakir juga dapat dikatakan sebagai pemilik naskah untuk disewakan. Hal itu termuat dalam Hikayat Maharaja Garebeg Jagat. Adapun tiga naskah lain yang ia hasilkan yaitu Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak, dan Hikayat Sultan Taburat II.
Menariknya, karya-karyanya yang mengandung unsur humor. Humor kental karya Bakir ada pada Syair Buah-Buahan dimana ia menceritakan lakon wayang Dursasana memakai minyak kolonye. Kemudian ada juga cerita Tionghoa yang ditinggal istrinya mati, kemudian dia dihibur oleh nyanyian-nyanyian lagu Tionghoa dalam irama yang Islami.
Naskah-naskah miliknya itu memang dipinjamkan dan penyewaan naskah itu menjadi salah satu mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Semua naskah yang menjadi miliknya tersebut diberi tanda tangan, yang merupakan ciri khasnya. Pembaca yang ingin meminjam dan menikmati naskah harus membayar 10 sen sehari.