Senibudayabetawi.com – Fakta bahwa mayoritas orang Betawi adalah beragama Islam bukanlah rahasia lagi. Meski ada beberapa komunitas ada yang bukan muslim, seperti komunitas Betawi Tugu di Tanjung Priuk, komunitas Betawi Kampung Sawah di Pondok Gede dan Komunitas Betawi “Belanda Depok” di Depok yang kebanyakan beragama Nasrani.
Dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, Susan Blackburn menyatakan bahwa warga Betawi sejak abad ke-19 memiliki dua ciri. Pertama, mereka (orang Betawi) beragama Islam, bahkan mereka memiliki reputasi sebagai muslim fanatik. Susan menyebut, perasaan religius yang kuat didorong oleh kebangkitan Islam yang terjadi melalui kedatangan orang-orang Arab.
Selain itu, ini merupakan reaksi terhadap orang Cina dan orang Eropa yang memegang posisi ekonomi, sosial, politik yang dominan di kota. Orang Betawi memegang teguh agamanya sebagai satu-satunya pelipur di dunia yang hampir tidak dapat mereka kontrol.
Ciri kedua, yaitu orang Betawi berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Sebuah dialek Melayu yang khas. Padahal, Betawi berada dalam sebuah wilayah yang didominasi oleh bahasa lain, yaitu bahasa Sunda. Mereka juga memiliki kebudayaan sendiri, seperti upacara pernikahan. Perpaduan rumah orang Betawi merupakan kombinasi elemen arsitektur Bugis Makassar, Cina dan Belanda. Ada pula, ondel-ondel, lenong, tanjidor, hingga rebana yang sering dipentaskan pada acara keagamaan.
Tiga Alasan Betawi Lekat dengan Islam
Sejarawan Betawi, Abdul Chaer, dalam Betawi Tempo Doeloe, Menesuluri Sejarah Betawi, menyimpulkan tiga alasan kenapa warga Betawi lekat dengan Islam. Pertama, sejak kecil, orang-orang Betawi sudah dididik menjadi orang Islam. Mereka sudah diajarkan membaca Alquran, salat, dan berkelakuan baik menurut agama Islam, dan diajar mengenal bahwa Allah itu Maha Esa.
Kedua, orang tua Betawi tempo dulu lebih mementingkan pendidikan agama daripada pendidikan umum. Jadi, lebih memilih memasukkan anaknya ke madrasan dan atau pesantren ketimbang sekolah umum. Namun, banyak anak Betawi tempo dulu yang belajar pada dua sekolah. Pagi harinya mereka
bersekolah di umum (SD) dan sore harinya di madrasah. Di samping itu, banyak juga orang-orang tua Betawi yang berkecukupan mengirim anaknya untuk belajar di Mekkah, Madinah, atau di kota lain di Timur Tengah.
Ketiga, hampir di setiap kampung ada seorang ustaz atau ustazah yang mengajar ngaji dengan ikhlas karena Allah. Ketiga poin tersebut agaknya cukup beralasan bila hingga kini antara Islam dan Betawi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.