Senibudayabetawi.com – Kesenian Betawi sangat beragam. Tak hanya kerap menghadirkan silat atau maen pukulan, ondel-ondel, hingga gelaran musik tanjidor. Akan tetapi, lekat menghadirkan nuansa religi seperti halnya hadro Betawi yang masih berkembang sampai sekarang.
Melansir laman warisan budaya tak benda Kemendikbud, hadro Betawi diperkirakan berawal dari Jakarta Selatan lalu menyebar ke wilayah Jakarta Pusat. Ini tak lain karena banyak grup hadro di Jakarta Selatan yang setingkat lebih menonjol dari pada wilayah Jakarta lain. Demikian pula irama pukulannya yang lebih dekat dengan musik rakyat Betawi di wilayah pinggiran yakni rebana biang, tanjidor, dan topeng Betawi. Tak ayal jika hadro lekat berasal dari Jakarta Selatan.
Tokoh legendaris dalam kesenian hadro adalah almarhum Modehir, meninggal sekitar tahun 1960. Selain memiliki keterampilan teknis yang baik, Modehir merupakan pemain hadro tuna netra. Jari tangan kanan maupun kirinya sangat hidup hingga menghasilkan variasi pukulan yang kaya. Tak hanya itu, ia juga bisa memukul rebana dengan kaki kanannya.
Para seniman hadro banyak menyebut bahwa cara pemukulan yang terakhir sebagai over acting, yang hanya bisa dilakukan oleh tuna netra. Haji Murtadlo, dari Lenteng Agung Jakarta Selatan menyebut, almarhum Modehir memperkaya irama pukulan hadro karena inspirasi dari suara mesin batik cap yang sehari-hari ia dengar di rumahnya.
Berkembang hingga Jakarta Pusat
Hadro berkembang di Jakarta Pusat, seperti Grogol Selatan, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong. Jika rebana ketimping memiliki fungsi ritual yang menonjol, ritual hadro lebih mengedepankan Fungsi hiburan. Bahkan, hampir tak ada lagu dalam hadro yang dianggap sakral, layaknya seperti Asyraqal dalam pergelaran rebana ketimpring.
Tak hanya itu, seluruh lagu dalam hadro lebih banyak menampilkan keterampilan musik dan keindahan vokal. Apabila dalam pembacaan syair Syaraful Anam banyak dibacakan vokal solo berupa Rawi dan doa, dalam pergelaran Hadro Betawi kedua hal tersebut tidak ada. Sebagai penggantinya dibacakan atau dimainkan lagu-lagu Rebana Dor atau Yalil.
Sarmada dari Paseban mengatakan bahwa hal yang paling prinsip yang membedakan antara rebana ketimpring dan hadro Betawi yakni yang terakhir “digendangin” yang berarti dipukul menyerupai permainan gendang. Hadro berukuran 25 cm – 35 cm, lebih besar dari rebana ketimpring. Pada kayu kelongkongan dipasang tiga pasang lingkaran logam berfungsi sebagai kecrek.
Ciri khas dari tradisi Hadro Betawi adalah Adu Zikir yaitu lomba menghafal syair-syair Diwan Hadro maupun kitab maulid lainnya.