Senibudayabetawi.com – Masyarakat Betawi sering kali dianggap jago maen pukul dan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam yang kuat. Namun, di bali itu semua ternyata mereka juga terkenal sangat terbuka dan memiliki selera humor. Tak ayal jika banyak orang menyebut orang Betawi humoris.
Ya, sejak zaman kolonialisme, masyarakat telah akrab dengan berbagai negara lain. Mereka terbuka dan dapat hidup berdampingan dengan negara-negara seperti dari Jawa, Ambon, Portugis, Jepang, Belanda, hingga Arab. Tingginya intensitas interaksi mereka menjadikan Betawi kemudian terinspirasi menyerap budaya mereka. Salah satunya kebiasaan orang Turki yang kerap menonton pertunjukan komedi dan membuat selera humoris masyarakat Betawi tinggi. Selanjutnya, masyarakat Betawi versi lenong .
Humor-humor khas Betawi memang sangat terlihat dari pertunjukan lenong Betawi. Mereka bahkan kerap menyelipkan kritikan-kritikan dalam bentuk humor dalam pementasan lenong. Menariknya, banyolan-banyolan humor ini berkembang dan kerap digunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Betawi.
Tak hanya itu, dalam masyarakat Betawi sendiri humor dihadirkan sebagai penyeimbang jiwa. Humor sering diekspresikan sebagai wujud kritik sosial atas ketertekanan yang menimpa pada tempo dahulu. Menukil Probonegoro, dkk dalam Peranan Folklore dalam Kebudayaan: Fungsi Humor sebagai Rite dalam Kebudayaan Betawi (1987) , bentuk ketertekanan masyarakat Betawi merupakan warisan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Tepatnya, pada penerapan sistem tanah partikulir yang berlaku pada waktu itu (sejak 1620).
Masyarakat Betawi, tepatnya di kawasan ommelenden mengharuskan mereka untuk membayar berbagai jenis pajak dan kewajiban kerja rodi bagi para petani penggarap tanah itu. Sistem ini berlanjut hingga 1855 sempat dihapuskan. Namun, dilanjutkan lagi pada 1912 dan terus berlangsung hingga Jepang tiba.
Berbagai perlawanan, seperti Peristiwa Cikandi-Udik pada 1845, Pemberontakan Entong Gendut dan Entong Tolo seolah tak mampu mengubah sistem itu. Keresahan sosial imbas kebijakan itu menjadikan beban hidup masyarakat Betawi secara terus menerus.