Senibudayabetawi.com – Awal mula sastra Betawi sudah ada sejak abad ke-19. Ini ditandai dengan seiring ditemukannya bentuk pantun dan syair dalam kesenian tradisi lirik lagu gambang kromong. Lalu ada pula jampe yang seiring dengan mantra. Perkembangan sastra Betawi lisan tak sampai di situ, tapi berlanjut ke tradisi bercerita atau bertutur lisan. Misalnya, mulai dari sahibul hikayat, buleng hingga gambang rancak.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa sastra lisan langsung dituturkan turun temurun sehingga sulit melacak pengarang pertamanya. Berbeda halnya dengan sastra lisan seperti dalam lirik gambang kromo, sastra tulis umumnya secara jelas mencantumkan nama penulisnya.
Bentuk sastra tertulis pertama kali dicantumkan oleh keluarga Fadli as Langgar Tinggi, Pacenongan. Adapun murid paling aktifnya yaitu Muhammad Bakir bin Sofyan bin Usman Fadli. Menariknya, keluarga Fadli juga memiliki perpustakaan khusus dan memproduksi naskah guna disewakan.
Selain Muhammad Bakir, keluarga Fadli yang juga penulis yaitu Agmad Insab, Ahmad Beramka, dan Ahmed Muarrab. Namun sayangnya hanya naskah Bakir yang paling banyak tersimpan di Indonesia.
Perkembangan Sastra Betawi Modern
Awal mula sastra Betawi ditandai kali pertama dengan munculnya karya Aman Datuk Madjpindo dalam Si Dul Anak Betawi (1936). Kemudian karya lainnya yaitu M. Balfas berjudul “Lingkaran-lingkaran Retak”.
Selanjutnya, ada pula Terang Bulan Terang di Kali karya SM. ARDAN. Sapardi djoko Damono dalam Politik, Ideologi dan Sastra Hibria (1999) menyebut Ardan merupakan tokoh pertama dalam sastra Indonesia modern yang secara sadar mempergunakan dialek Jakarta dalam cerita.
Kemudian nama Firman Muntaco populer karena ia tak hanya memasukkan bahasa Betawi dalam percakapan cerita. Akan tetapi termuat juga dalam deskripsi cerita. Sehingga dapat menampilkan nuansa Betawi yang semakin kuat.
Melansir Mpokoiyah, pada masa sekarang, kecenderungan lokalitas Betawi dalam sastra cenderung menurun. Namun tentunya kita bersyukur masih dapat menemukan jejak kebetawian—dan sesekali kejakartaan—dalam puisi Susi Aminah Aziz, Zeffry Alkatiri, maupun Ridwan Saidi. Sekadar menyebut nama di bidang prosa, ada Mahbub Djunaedi, Aba Mardjani, Nur Zen Hae, Chairil Gibran Ramadhan, hingga Ben Sohib.
Dengan gayanya masing-masing, mereka memberikan warna dan sumbangsih tersendiri dalam dunia kesusteraan Betawi. Ibnu Wahyudi dalam pengantar Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya menyatakan, “Mengingat para sastrawan menulis atas desakan akan suatu impuls atau rangsang kreatif, maka masing-masing cerpen dari pengarang yang berbeda-beda itu niscaya menampilkan kebetawian atau latar Betawi yang berbeda-beda pula. Inilah sisi dokumentatif dari sastra yang sangat bisa jadi lebih mendekati sebagai semacam potret yang reflektif daripada tanggapan yang evaluatif.”