Senibudayabetawi.com – Perhelatan Great Exhibition di Crystal Palace, London, Inggris pada 1851 lampau tak sekadar menyuguhkan karya seni dan sains global, tapi juga memberikan pengaruh terhadap dunia. Mulai di Amerika, Dublin, Irlandia hingga Perancis hingga Hindia Belanda, tanah kolonial Belanda. Pameran yang dihelat di Batavia pada 1853 ini juga memberikan dampak signifikan terhadap Batavia.
Pameran tersebut menampilkan berbagai macam koleksi. Misalnya, ikan, rempah-rempah, produksi industri hingga bahan mentah. Bahkan, emas dari desa Trangkil, Jepara cukup menarik perhatian pengunjung. Sementara dalam paviliun Kedu, terdapat karya pelukis terkenal Raden Saleh, yakni berupa lukisan potret Raden Adipati Arya Danuningrat.
Dalam pembukaan pameran, ketua pelaksana pameran S. D Schiff menyatakan, setelah mendapatkan berbagai koleksi dari seluruh Hindia Belanda, tujuan pameran ini untuk menyebarkan kemakmuran bagi seluruh orang di Nusantara, dengan mendorong kemajuan industri pribumi.
Perkataan Schiff seolah menciptakan citra bahwa mereka adalah pemerintah kolonial yang membangun Nusantara. Gubernur Jenderal yang kemudian berbicara juga menekankan bahwa pameran ini akan memimpin perkembangan masa depan dan dengan demikian akan mempromosikan kemakmuran untuk rakyat.
Dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (2014), Sartono Kartodirdjo menyatakan, pidato ini menyimbolkan masa transisi paling awal yang nantinya bermuara pada perdagangan bebas dan politik etis. Meskipun pada akhirnya bersifat ambivalen dengan kebijakan proteksi Hindia Belanda ketika tahun 50-an.
Penduduk Lokal
Menariknya, seorang misionaris asal Inggris John Davies Mereweather, seorang misionaris asal Inggris dalam Diary of a working clergyman in Australia and Tasmania, kept during the years 1850-1853; including his return to England by way of Java, Singapore, Ceylon, and Egypt. Hatchard and Co (1859), banyak menggambarkan situasi pameran saat itu.
Ia menyatakan, para pribumi Melayu yang datang ke pameran tersebut menggunakan beragam pakaian. Para lelaki misalnya, mengenakan hiasan kepala dari kain muslin, atau topi jerami, atau kain berwarna yang dilipat melingkar, atau topi kayu dengan gaya Jepang. Bagian tubuh atas mereka menggunakan tunik linen, jaket, dan beberapa tidak menggunakan apa-apa. Mereka, tidak ada satupun yang menggunakan sepatu.
Sementara para perempuan yang datang menyanggul rambut mereka. Pakaiannya terdiri atas tunik linen putih dan disematkan di dada dengan rok putih panjang. Mereka berjalan dengan cara yang bermartabat dan berperilaku sopan.
Para bangsawan Jawa pun datang dengan bersama pelayannya dengan pakaian mewah. Mereka memperlihatkan kecerdasan, kelembutan, dan kesopanan mereka. Hadir juga para perempuan Jawa kasta tinggi yang dianggapnya tidak berbeda jauh dari perempuan Eropa.
Sebagaimana terdapat golongan-golongan tertentu yang menafsirkan pameran 1851 di London. Pada minggu pertama lebih dari lima ribu orang datang ke pameran, dengan setengahnya merupakan Pribumi dan Cina.
Dari laporan Java-Bode dalam Bataviasche Tentoonstelling (1853) masyarakat pribumi tampaknya cukup tertarik pada pameran ini. Dari tanggal 10 Oktober sampai pada Sabtu 22 Oktober ada 2904 pengunjung yang merupakan pribumi dan Cina dari 6.038 orang.