Senibudayabetawi.com – Jakarta (dahulu bernama Batavia) pada awalnya sebagai sebuah kota pusat perdagangan yang didirikan VOC dan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah ini dipilih karena letaknya yang strategis dalam wilayah perdagangan. Selain orang-orang dari Nusantara, juga terdapat beberapa etnis lain yang berasal dari luar daerah maupun mancanegara.
Kedatangan mereka ke Nusantara, terutama ke Batavia tak lain adalah untuk berdagang dan membuka lahan pertanian dan perkebunan, hasil dari komoditi gula di Batavia. Terdapat peran yang besar dari pengusaha Eropa dan China untuk mengembangkan usaha gula di Batavia.
Sejak awal abad ke-16, Nusantara telah terkenal menjadi primadona penghasil rempah-rempah di dunia. Namun, perlahan digantikan dengan tanaman komoditi lainnya, seperti gula, kopi, tembakau dan kopra pada akhir abad ke-17.
Imbasnya, pihak kolonial yang menguasai Hindia Belanda memusnahkan tanaman rempah-rempah ini dan menyulapnya menjadi tanaman tebu untuk pembuatan gula. Guna semakin memasifkan pengembangan produksi gula, pihak VOC mendatangkan para tenaga terampil yang berasal dari Cina. Fenomena inilah yang dikatakan oleh Susan Blackburn sebagai upaya membangun Batavia dengan bantuan orang-orang Cina.
Huddy Husin dalam Ujung Senja Pabrik-pabrik Gula di Batavia Awal Abad ke-18 (2016) menyebut, pihak VOC berusaha untuk merangkul orang-orang Cina untuk datang dan membantu VOC. Sebagai imbalan, mereka diberikan jabatan sebagai kapiten hingga letnan. Mereka dijadikan sebagai pemasok tenaga kerja yang tak lain berasal dari kelompok pribumi.
Kelompok Pribumi
Kelompok pribumi diposisikan sebagai tenaga kerja dalam produksi tersebut. Misalnya, mereka dijadikan buruh dalam penanaman tebu. Mereka bertugas memasok kayu bakar dalam industri penggilingan tebu dan melakukan pengeringan terhadap batang-batang tebu yang siap diolah setelah panen
Selain itu, para pribumi juga melakukan pekerjaan lain. Misalnya, pencari kayu bakar, buruh angkut, buruh pengeringan tebu, buruh penjaga areal perkebunan selain para pekerja yang berada di dalam pabrik.
John Sydenham Furnivall dalam Hindia-Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk (2009) menjelaskan bahwa pada tahun 1637 produksi gula menghasilkan 196 pikul. Selanjutnya, pada tahun 1653 menjadi 12.000 pikul. Budidaya gula cenderung meluas pada 1710 dengan jumlah pabrik yang mencapai 130 pabrik, dengan penghasilan hingga tahun 1779 mencapai 100.000 pikul panen
Sekiranya melalui pertambahan jumlah hasil yang diraih dalam produksi gula di Batavia yang mencapai ratusan ribu pikul di akhir abad ke-18 memberikan kepada kita bahwa terjadi peningkatan ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan para pribumi yang berasal dari industri gula di Batavia.
Perubahan dan alternatif profesi yang bisa dilakukan oleh kelompok pribumi menjadi semakin bervariasi, para penduduk pribumi tidak hanya bergantung kepada profesi sebagai petani saja, akan tetapi juga bisa menjadi buruh pabrik, buruh angkut dan buruh pengering pada pabrik-pabrik gula di Batavia.