Senibudayabetawi.com – Persamaan etnis tak selalu menyebabkan persamaan tradisi budaya yang dihasilkan. Masyarakat Betawi Kampung Sawah misalnya. Meski mereka mengidentifikasi sebagai suku Betawi, tapi memiliki perbedaan mencolok dibanding etnis Betawi lainnya. Mulai dari bahasa, tradisi ritual daur hidup, hingga sistem kekerabatan yang mereka gunakan, seperti penggunaan marga.
Pertama yaitu bahasa. Jika biasanya masyarakat Betawi di Jakarta kerap menggunakan bunyi “e” dalam setiap kata berakhiran “a” maka hal ini tak ditemukan dalam percakapan keseharian masyarakat Kampung Sawah. Hal ini tergambar dalam Cerita Jaga Timbul yang mampu mendeskripsikan keseharian masyarakat Kampung Sawah dalam Praptanto (2011).
Biar kata diubek rame-rame, nggak semua ikan bisa ketangkep. Apalagi ikan yang rada kuat ama lumpur, kaya lele, sili, kocolan, betik/betok. Rada siangan dikit, orang-orang udah pada pulang. Matahari masih bersinar terang, panasnya bikin aer di sawah yang baru diubek jadi rada anget. Angetnya terus nyampe ke lumpur. Nah dalam keadaan kaya gini, biasanya ikan pada nongol ke permukaan buat nyari kesegaran. Inilah saatnya jaga timbul.
Berebut Dandang hingga Penggunaan Marga
Selain bahasa, terdapat tradisi yang bagi orang Betawi Kampung Sawah berbeda dengan tradisi Betawi pada umumnya. Meski secara substansial bermakna sama. Misalnya, jika di Jakarta dikenal tradisi palang pintu guna menyambut mempelai pria pada saat prosesi pernikahan maka di Kampung Sawah Bekasi terdapat apa yang disebut Rebut Dandang.
Tradisi berebut dandang merupakan tradisi yang hampir sama dengan palang pintu, seperti ada unsur bersahutan pantun. Berebut Dandang adalah tradisi yang dibawakan pada saat menjelang upacara perkawinan. Mempelai pria membawa dandang diikat selendang, kemudian utusan dari mempelai pria, seorang Jawara, ditugaskan untuk merebut dandang tersebut. Tradisi Rebut Dandang adalah tradisi pesta pernikahan Betawi Pinggir seperti Bekasi dan Depok.
Suku Betawi di Kampung Sawah juga memiliki ciri khas lain yang membedakan mereka dengan suku Betawi lainnya, yaitu penggunaan marga sebagai nama belakang mereka. Asal-usul penggunaan marga di belakang nama penduduk asli berkaitan erat dengan masuknya agama Kristen di Kampung Sawah.
Hal ini juga memiliki keterkaitan dengan pemberlakuan hukum kolonial semasa penjajahan Belanda pada abad sembilan belas. Pada saat itu, diterapkan hukum yang berbeda, yaitu hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat. Bagi warga Kristen pribumi yang hendak menikah, berlaku peraturan bahwa mereka harus menggunakan nama keluarga dari pihak Ayah di belakang nama mereka ditambah dengan nama baptis, mirip dengan yang berlaku di negara-negara Eropa Barat.