Senibudayabetawi.com – Banjir merupakan masalah yang paling sering dihadapi oleh Kota Jakarta. Fenomena bencana ini mulai terjadi secara signifikan pada abad ke-19 dan puncaknya terjadi pada abad ke-20. Wilayah Weltevreden sudah mengalami banjir pada 1 Januari 1892 karena pada saat itu, debit hujan yang turun di Batavia mencapai 286 milimeter. Wilayah terdampak banjir meliputi pusat Kota Weltevreden hingga wilayah pinggiran, seperti Pasar Minggu.
Setahun kemudian, tepatnya pada 1893, banjir di Batavia berubah menjadi perusak aktivitas perekonomian di Jakarta Utara. Peristiwa itu dapat dilihat dari banjir Marunda (banjir rob) yang merendam wilayah Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran. Selanjutnya, Kebon Jeruk, Kemayoran Sawah, Kemayoran Wetan hingga Sumur Batu. Semuanya terendam hingga setinggi satu meter dan Pasar Ikan terendam setengah meter.
Meningkat Signifikan
Tidak hanya sampai tahun 1893, Jakarta setelah itu dilanda banjir berturut-turut pada 1895, 1899, dan 1904, dan bahkan pada 1909, banjir sudah mencapai kawasan Batavia tengah, Weltevreden (tepatnya di sekitar kawasan Lapangan Banteng).
Dalam kurun waktu 1892‒1909, wilayah yang lebih sering dilanda banjir adalah yang berpenduduk sedikit, seperti Weltevreden. Sementara Oud Batavia yang banyak penduduknya malah jarang terkena banjir, kecuali banjir rob Marunda pada 1893. Itu pun hanya melanda wilayah Pasar Ikan saja.
Menurut majalah kotapraja 1909, pemerintah Gemeente Batavia tidak memikirkan sedikit pun cara untuk menanggulangi banjir di kawasan perkampungan pribumi dan hanya memprioritaskan perbaikan di wilayah penduduk Eropa saja. Bahkan, Dewan Kota tidak mengusulkan permasalahan itu kepada gemeente untuk ditangani lebih lanjut.
Jika kita maju ke tahun 1930-an, barulah wilayah Oud Batavia—Tangerang—dilanda banjir mulai 29 Desember 1931. Wilayah yang terendam adalah sekitar Pasar Ikan.