Senibudayabetawi.com – Batavia telah lama menjadi pusat perdagangan internasional bentukan Belanda. Sebagai pusat perdagangan yang berskala internasional, banyak pedagang asing yang berdagang di Batavia, salah satunya adalah orang-orang Cina. Hal inilah yang memicu akulturasi gaya arsitektur Tionghoa dalam Betawi.
Dalam sejarahnya, tercatat pada masa pemerintahan Jean Jacgues Specx dalam kurun waktu 1629 sampai 1632, orang-orang Cina di Batavia diberikan berbagai kemudahan. Hal ini membuat banyak orang Cina yang menetap di Batavia. Selain itu, usaha tebu berdampak signifikan terhadap pemasukan orang-orang Cina.
Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi migrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Selatan, yaitu ke wilayah Asia Tenggara termasuk Nusantara. Kejadian itu disebabkan adanya perang saudara dan kemarau berkepanjangan di sana. Pada saat bersamaan, VOC sedang berkuasa di Batavia. Sejak itu kebudayaan Tionghoa banyak bercampur dengan Betawi.
Pengaruh Arsitektur
Pengaruh arsitektur Cina terhadap rumah Betawi terlihat pada bagian depan rumah yang disebut Langkan (Lankan dalam bahasa Cina). Selain Langkan ada juga Pangkengyang artinya tempat tidur, serta Tapang yang artinya ruangan kecil di depan rumah.
Biasanya pada rumah adat Betawi terdapat balai- balai sebaguna sebagai tempat bersantai. Di tempat tersebut tersedia kendi dan perabot lainnya, seperti dipan (tempat tidur-tiduran), Paseban atau teras tempat bersantai keluarga.
Kebiasaan Betawi mengecat rumah juga merupakan tradisi warga Cina pendatang. Jendela tanpa daun dan hanya diberi jeruji dengan warna kuning dan hijau. Demikian pula dengan penambahan motif hias pada tiang, jarang sekali ditemukan rumha Betawi yang tiangnya polos.
Pengaruh lainnya terlihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang lazim disebut Sekor Tou-Kung, sebagaimana yang terlihat pada rumha Betawi di kawasan Pesisir.
Pada bangunan Masjid Angke yang berdiri 2 April 1761 itu dirancang oleh Syaikh Liong Tan serta dibiayai oleh Tan Nio, yang masih saudara dengan Ong Tin Nio (istri dari Syarif Hidayatullah). Arsitektur Masjid tersebut memiliki perpaduan corak antara unsur Jawa dan Tionghoa, karena pendirinya memang berlatar belakang dua etnis tersebut.
Hal tersebut terlihat dari pintu masuk dan ujung atap yang mirip Klenteng. Selain itu, desain atap tumpang susun Masjid Angke ini mirip dengan Masjid Demak di Jawa Tengah.