Senibudayabetawi.com – Tumbuh sejak pertengahan abad 19, lakon Bapak Jantuk atau Topeng Jantuk tumbuh dan berkembang di wilayah budaya Betawi. Kesenian ini berkembang pesat di wilayah pinggiran Jakarta dan dipengaruhi kesenian Sunda.
Saat itu masyarakat mengenal Topeng Jantuk melalui pertunjukan keliling kampung. Pertunjukan Topeng Jantuk mengikuti induknya Topeng Betawi, biasanya diadakan sehubungan dengan pesta perkawinan, hitanan, dan nazar.
Dalam laman Kemdikbud, secara harafiah, jantuk artinya spontan dan tangkas dalam berdialog. Pengertian kata jantuk dalam pertunjukan teater tradisional Topeng Betawi adalah dialog atau obrolan dua orang atau lebih yang dilakukan secara spontan, tangkas, dan ringkas.
Bapak jantuk merupakan salah satu jenis kedok atau topeng yang digunakan dalam pementasan Topeng Betawi.
Dalam Folklor Betawi (1979), dialog dalam pertunjukan Topeng Jantuk berbentuk pantun Betawi dan dinyanyikan secara khas. Karakter si pemakai topeng berperan sebagai Pak (Bapak) Jantuk dan berhadapan dengan Mak (Mamak) Jantuk yang tak memakai topeng serta dengan mertua laki-lakinya yang merangkap menjadi niyaga (panjak) kendang.
Alur Cerita
Ceritanya berkisar pada hubungan suami isteri yang menghadapi tantangan hidup berkeluarga. Tokoh ini muncul sebagai cerita paling akhir dalam Topeng Betawi atau menjelang pagi hari, sekitar 04.00-05.00.
Bapak Jantuk biasanya menggunakan kain ikat kepala (ikat), jas, celana pangsi, sarung, kedok, dan tongkat. Mamak jantuk memakai kerudung sebagai penutup kepala, baju kebaya, dan kain panjang (batik).
Tokoh yang tampil dalam bagian ini sebanyak empat jenis tokoh yaitu Bapak Jantuk, Mak Jantuk, Mertua Jantuk dan seorang bayi. Bayi ini bukan manusia sesungguhnya, tapi berupa anak-anak dari kayu atau bantal kecil.
Terkadang muncul pemain tambahan yang diambil dari pemain musik (penabuh) yang berperan sebagai tetangga atau dukun pelet yang biasanya mendamaikan anggota rumah tangga yang sedang dalam kemelut.
Cerita Pak Jantuk mengungkap persoalan yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Pak Jantuk menyesali perceraian dengan istrinya yang disebabkan lauk ikan pedas kesukaannya dimakan oleh kucing. Akhirnya keluarga itu rujuk dan berkumpul kembali.
Karakter Tokoh
Tokoh Bapak Jantuk merupakan seorang laki-laki yang memakai kedok. Kedok itu bermata sipit, kening menonjol ke depan dan pipinya tembem. Diperkirakan karena kening yang menonjol ke depan itulah yang diartikan dengan “jantuk”.
Bapak Jantuk juga memakai ikat kepala, baju terusan dengan celana yang kadang-kadang serba hitam.
Tokoh ini selalu menggambarkan kesedihan, polos atau lugu. Jalannya agak membungkuk yang menggambarkan orang tua dan selalu memakai tongkat.
Mertua Jantuk tak memakai kedok dan bajunya bebas. Mamak jantuk memakai kebaya dan kain panjang atau kain batik. Pemunculan Bapak Jantuk ini juga diiringi dengan musik (alok).
Ramadani Wahyu