Senibudayabetawi.com – Tradisi Nyuguh tak ujug-ujug muncul begitu saja. Ini bermula saat transisi masyarakat masih lekat dengan keyakinan leluhur dan arwah dengan perkembangan agama Islam di Nusantara, termasuk Betawi.
Dalam Makna Simbolik dalam Tradisi Nyuguh Masyarakat Rawa Bebek di Kelurahan Kota Baru, Bekasi Barat, tradisi Nyuguh merupakan tradisi yang bermakna menyediakan atau memberikan hadiah, berupa pangan, makanan atau minuman pada arwah leluhur yang sudah meninggal. Tujuannya yaitu untuk mengenang arwah leluhur yang telah mendahului. Selain itu juga untuk memohon doa restu dari leluhur untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah.
Tradisi ini menyajikan berbagai sajian mulai dari daun sirih, bahan kapur sirih, gambir, kopi pahit, the pahit. Lalu ada kopi manis, kue-kue, pisang raja, dst.
Adapun sejarah tradisi ini bermula dari keturunan Sayyid Usman Al-Idrus, seorang dari Timur Tengah, tepatnya dari Arab Saudi yang datang ke Indonesia bersama ayahnya bernama Sayyid Khoir Al-Idrus, seorang ulama yang bertujuan menyebarkan Agama Islam. Kali pertama mereka mendarat ke tanah Aceh.
Usai beberapa tahun menyebarkan agama di Aceh, mereka hijrah ke daerah Sungai Air Tawar di Marunda. Ia membabat hutan belantara guna membuka lahan dan menjadikannya sebagai perkampungan.
Adapun perkampungan ini tempo dulu dinamakan sebagai Kampung Palbusuk. Pasalnya, pada masa itu banyak kapal-kapal dan mayat-mayat yang busuk imbas peperangan.
Sebarkan Agama Islam ke Betawi
Dari Sungai Air Tawar, Sayyid Usman Al-Idrus pindah ke tanah Betawi untuk menyebarkan misinya dalam Islam. Nah, dalam perjalanan ke Jakarta, Sayyid Usman menemukan sajian-sajian keyakinan masyarakat setempat yang terkait dengan arwah-arwah leluhur. Setelah ditelisik, ternyata mereka memeluk agama Hindu, Budha, hingga aliran penghayat seperti Sunda Wiwitan dan Kejawen.
Dari sinilah alasan awal Sayyid Usman menurunkan ilmunya pada salah satu anaknya yaitu agar masyarakat mengenal Islam dan meninggalkan keyakinan awalnya, termasuk melalui tradisi Nyuguh agar menuju jalan yang benar dan diridhai Allah SWT.
Sebelum menetap di Jakarta, ia tinggal di Kampung Pintu, Babelan, Kabupaten Bekasi selama kurang lebih dua tahun dan menikah dengan seorang gadis bernama Jeli binti Jeman dan dikarunia tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Anak Sayyid Usman Al-Idrus
Adapun yang tertua yaitu Syech Imam Jaelani yang berprofesi sebagai Tentara Angkatan Darat. Anak kedua bernama Idris yang gemar mencari ilmu kebatinan, anak ketiga yaitu Rohaya. Melalui Rohaya inilah kemudian tradisi Nyuguh ini bermula. Anak keempat bernama Maridi dan terakhir yaitu Salbiah.
Dari kelimanya tersebut, Rohayalah anak paling patuh hingga dijodohkan dengan pemuda bernama Nisan bin Ni’in yang hanya seorang tukang becak. Dalam kehidupan rumah tangganya, ia kemudian akrab dipanggil dengan nama Mak Uo.
Awalnya, Rohaya tinggal di Utan Kayu, Jakarta Timur dan mendiami rumah ayahnya yang dikhususkan untuknya. Namun, dalam kehidupan rumah tangga, ia sempat berkonflik dengan suami hingga menyebabkan kesalahpahaman dengan kakaknya.
Konflik semakin membesar kemudian Rohaya pindah rumah di daerah Pondok Kopi selama enam bulan. Di samping itu, ia juga membangun sebuah rumah di Kampung Rawa Bebek dan memisahkan dengan kakaknya.
Sampai suatu malam, ruh ayahnya Sayyid Usman Al-Idrus mendatanginya. Rohaya yang memiliki kemampuan supranatural dan indra ke-enam, didatangi oleh ayahnya dan berpesan agar memanggilnya apabila Rohaya mendapati kesulitan. Adapun caranya yaitu dengan menjalankan ritual Nyuguh.
Awalnya, Rohaya tak mengamalkannya karena ia tak mengetahui maksud dan tujuan sang ayah. Namun, ia tak berdiam diri saja, dan terus memikirkan ucapan sang ayah dan bertanya pada saudara-saudara lainnya. Tapi ia tak menemukan jawaban.
Awal Tradisi Nyuguh
Beberapa tahun kemudian, ruh Sayyid Usman datang lagi padanya dan menjelaskan arti Nyuguh, termasuk cara memulai tradisi, sajian, dan waktu pelaksanaan tradisi Nyuguh diikuti penjelasan bahwa di alam Barzakh dan dunia sejatinya sama saja. Namun, di alam barzakh, ruh bisa merasakan serta bisa melihat kehidupan di dunia. Bahkan, ruh jauh lebih bisa merasakan dan melihat lebih jelas daripada penglihatan orang yang masih hidup.
Setelah mendapatkan penjelasan dari sang ayah, Rohaya mulai mengerti dan mengamalkan tradisi Nyuguh. Tepatnya pada tahun 1967, Rohaya mulai pelaksanaan tradisi ini hingga tahun 2016 sebelum ia meninggal dunia.
Akhirnya tradisi ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya hingga saat ini, kemudian menyebar hingga ke para tetangga di kampung dan berbagai kalangan.
Ramadani Wahyu