Senibudayabetawi.com – Tradisi merawat ari-ari bayi ternyata menyimpan beragam makna di berbagai daerah, salah satunya di Betawi. Bagi masyarakat Betawi, ari-ari bukan sekadar bagian tubuh yang terbuang, melainkan dianggap sebagai “saudara tua” bayi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sang anak. Lantas, seperti apa cara masyarakat Betawi merawat dan menguburkan ari-ari bayi? Mari kita simak sobat senibudayabetawi.com.
Dalam Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, ari-ari dipandang sebagai “saudara tua” si bayi. Itulah kenapa bagian ari-ari ini tidak boleh dibuang sembarangan. Ari-ari atau lazim disebut juga “bali´dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam “pendil” (periuk tanah). Lalu diberi tambahan bumbu dapur seperti garam, asam, kunyit, salam, sereh dan benang jarum (bayi perempuan). Sedangkan untuk bayi laki-laki ditambahkan pensil, kertas dan bunga tujuh macam.
Uniknya, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Betawi bahwa jika bayi perempuan maka ari-arinya ditanam di dekat pedaringan (tempat menyimpan beras) dan samping rumah. Ini dimaksudkan agar anak perempuan nanti tidak sering keluar rumah dan kelak hidupnya tidak kekurangan makan.
Setelah ari-ari dikubur lalu diberi lubang bambu setinggi kurang lebih 30 sentimeter di atasnya ditaburi bunga, dipasang lampi hingga puput puser (lepas tali ari-ari), dan diberi batu di sekitarnya agar tidak terinjak.
Sebagian masyarakat ada pula yang membuang ari-arinya ke sungai atau ke laut untuk bayi laki-laki. Bahkan ada yang mengikatnya di atas batang pisang. Ini dimaksudkan agar si anak kelak bisa berlayar seperti saudara tuanya.
Puput Puser juga diikuti dengan tradisi selamatan. Pembacaan doa dan ayat-ayat suci Al Quran dan sedekah biasa dilakuan saat tali pusat bayi lepas (puput puser). Ini biasa antara 7-10 hari usia si bayi di mana tali puser lepas dengan sendirinya. Dalam kepercayaan, tali pusat dibungkus kain putih lalu disimpan untuk direndam dalam segelas air dan diminum airnya bila si bayi sakit.
Ramadani Wahyu