Jangan mengaku sabar jika tak menjajal aplikasi dari Padepokan Gerak Rasa Sanalika. Kira-kira begitulah ungkapan yang tepat mewakili karakter khas dari Padepokan Gerak Rasa Sanalika. Pasalnya, kesabaran seseorang akan teruji saat mengaplikasikan aliran silat ini.
“Kalau udah masuk aplikasi, kita biasa sebut “godain” atau dipancing kesabaran emosinya,” kata Guru Besar Padepokan Geak Rasa Sanalika, Hasan Basri atau akrab disapa Bang Cacang kepada senibudayabetawi.com.
Sesuai namanya, aliran silat ini lebih menekankan soal rasa—kelembutan. Sesuai ajaran sang guru, yakni Haji Nur Ali Akbar atau akrab disapa Babe Nunung. Babe Nunung sebelumnya menerima amanah Gerak Rasa Sanalika dari Muhammad Sayfe’I atau Bang Pe’I (1980-an) di sebuah Festival Silat Putra Betawi di Senen.
Kemudian aliran ini berkembang di kawasan Rawabelong lalu diteruskan oleh Bang Cacang di Kemanggisan. “Saya mulai belajar dengan Babe Nunung sekitar 2006, lima tahun kemudian baru mendirikan padepokan ini,” jelasnya.
Tak seperti aliran silat lain yang mengandalkan beragam hafalan jurus, aliran ini hanya memiliki empat gerakan yang lebih lembut. Namun, lebih mengandalkan rasa, yakni sensitivitas membaca sirkulasi pergerakan dan energi lawan melalui sentuhan tangan. “Justru semakin tinggi tingkatannya,semakin pasrah maka gerakan yang digunakan semakin berkurang,” imbuh dia.
Meski tak memiliki nama, gerakan dalam aliran silat ini menurut Bang Cacang memiliki hakekatnya masing-masing. Diantaranya, di balik kelembutan ada kekuatan, di balik kesabaran ada kemauan, di balik kepasrahan ada keyakinan, serta di balik keihklasan ada rasa syukur.
Jika biasanya perguruan silat memiliki banyak murid dengan berbagai generasi maka hal ini tak terlihat di padepokan yang berada di Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat sore itu. Empat orang tengah berlatih secara intens, layaknya belajar privat. Rupanya, memang sehari-hari latihan berjalan seperti itu.
Baca Juga: Silat Gerak Rasa Sanalika: Warisan Lokal yang Mulai Terpinggirkan
Tak Lagi Menang untuk Mengalahkan
Gerakan yang lembut dan membutuhkan kesabaran memang memungkinkan silat ini untuk dipelajari oleh mereka yang berusia dewasa hingga lanjut. Mereka yang tua pun terus bisa berlaga.
Tak ayal, Bang Cacang sendiri menyebut memang silat ini kurang cocok dipelajari anak-anak muda karena gerakannya yang senada dan membutuhkan kesabaran tinggi. “Memang gerakannya hanya empat diulang terus ya itu saja. Yang membedakan hanya setelan esensi energi yang digunakan,” imbuh dia.
Yang menarik, Bang Cacang kini telah menggeser konsep dasar padepokan yang semula mengalahkan lawan untuk menang menjadi menyadarkan lawan. Bukan lagi esensi menang-kalah, layaknya pemain silat pada umumnya.
Konsep itu lahir seiring perkembangan padepokan ini yakni pada tahun 2014 ketika di malam hari ia mendapatkan bisikan –“tidak boleh menghakimi sesama,”. Sebelum medapatkan bisikan, Bang Cacang sempat mengalami kelumpuhan hingga membaik karena telah menyelamatkan seorang maling yang tertangkap basah dan siap dihakimi massa.
“Jadi sejak saat itu, kita lebih ke konsep tak lagi menghakimi, tak menyakiti, dan banyak memaafkan sesama,” pungkasnya. admin
Masya Allah, sehat” selalu Abi cacang dan Abang” guru lainnya…jaya terus kesenian budaya Betawi bersama GERAK RASA SANALIKA, Aamiin
amiinnnn