“Tumbenan juga ni hari pindang bandeng udah habis,” ujar perempuan berhijab merah ditemui tim senibudayabetawi.com, Rabu (10/2).
Menjelang perayaan Imlek, pindang bandeng selalu menjadi sajian favorit. “Terutama etnis Tionghoa,” sambungnya.
Sore itu, jam dinding di Rumah Makan Mpok Rodemah menunjukkan pukul tiga. Tapi, lima puluh porsi pindang bandeng ludes tanpa sisa. Beberapa kali Mpok Rodemah harus menolak pelanggan yang menanyakan pindang bandeng. “Kebanyakan mereka etnis Tionghoa,” ujar perempuan berusia 59 tahun ini.
Pindang bandeng sudah menjadi makanan sehari-hari warga Betawi. Terbukti, Mpok Rodemah selalu menyajikan menu ini terlepas menjelang perayaan Imlek. Resepnya yang sederhana namun tetap bercita rasa kuat membuat pindang bandeng selalu menjadi hidangan lezat sepanjang masa.
Aroma serai, lengkuas, dan jahe yang harum begitu menguar saat menyesap kuah pindang bandeng. Ya, aroma rempah-rempah yang khas seolah mampu menghilangkan aroma amis dari bandeng itu sendiri.
Saat pembuatan pindang bandeng pun, Mpo Rodemah selalu memperhatikan kualitas bahan yang digunakan. Dalam hal pemilihan ikan bandeng misalnya, ia pastikan benar-benar bersih meski itu berasal dari empang. “Kalau dari empang biasanya berlumpur ya, kita bersihin sampai benar-benar bersih,” kata dia.
Baca Juga: Imlek, Begini Tradisi Berburu Bandeng Warga Betawi
Mpok Rodemah telah membuktikan bahwa pindang bandeng—meski disebut-sebut sebagai sajian khas menjelang perayaan Imlek, tapi tetap saja kuliner ini milik Betawi asli.
Produk Akulturasi Budaya
Dewan Pakar Perhimpunana Indonesia Tinghoa (INTI) Azmi Abubakar menyebut, adanya kuliner khas Betawi ini merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya etnis Tionghoa dengan Betawi. Makan bandeng, sambung dia merupakan satu bentuk kewajiban etnis Tionghoa dalam perayaan Imlek.
“Tercatat dalam dokumen di Museum Peranakan Tionghoa dari tahun 19850-an mereka sudah mencari bandeng di Clincing kemudian sekarang terpusat di Rawa Belong,” kata pemilik Museum Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan ini.
Adapun, bandeng yang memiliki duri banyak menyimbolkan tantangan yang harus dihadapi dengan keuletan–sama dengan menghindari banyak duri yang ada di dalam daging bandeng. “Bandeng ini melambangkan rezeki ataupun kemakmuran,” ujarnya.
Dulu, pasar malam menjadi perjumpaan antara etnis Tionghoa dengan warga Betawi. Termasuk dalam hal berbelanja bandeng. Namun, seiring perubahan zaman etnis Tionghoa tak terlihat lagi di pasar-pasar bandeng Imlek, seperti Rawa Belong.
Azmi menduga, terlepas ditengarai perubahan selera berbelanja etnis Tionghoa juga imbas dari kerenggangan beberapa tahun terhentinya Imlek di Indonesia.
“Dulu pasar menjadi perjumpaan semua golongan. Tapi kita lihat justru di Rawa Belong didominasi orang Betawi. Bisa jadi memang karena sudah banyak pusat belanja yang lebih modern dan imbas kerenggangan hubungan karena sempat Imlek dihentikan pada era dulu,” pungkasnya.