Lagu-lagu yang terekam dalam kepingan piringan (vinyl) hitam belum juga kehilangan suara di tengah gempuran musik digital. Hal yang sama terlihat di sepanjang Lantai Basement, Blok M Square, Jakarta Selatan. Suara-suara jernih yang keluar dari gesekan antara jarum stylus dengan turntable antar pedagang vinyl saling bersahutan.
Bisa dibilang lagu yang kebanyakan mereka putar merupakan lagu jadul tapi tak lekang oleh zaman. Paling tidak, hal itu jugalah yang dilakukan oleh Dede, salah satu pedagang vinyl yang juga banyak menjual karya-karya Almarhum Benyamin Sueb laksana merawat Benyamin Sueb.
Deretan toko Dede nyaris sebagian besar menampilkan karya-karya dari Almarhum Benyamin Sueb. Ya, lelaki pecinta musik jadul ini bahkan tak hanya menyediakan karya album Bang Ben dalam bentuk vinyl, tapi juga kaset.
“Lumayan peminatnya, rata-rata mereka yang memang merawat Benyamin Sueb, memang kolektor. Karena sebenarnya lagu-lagu Benyamin itu kan banyak aliran. Ada keroncong, ada blues, pop juga. Tapi semakin ke sini, kebanyakan (mereka) suka Banyamin blues, jazz, hingga pop,” ujarnya kepada senibudayabetawi.com, Selasa (23/2).
Album Benyamin Sueb
Beberapa koleksi vinyl lagu Benyamin yang ia punya diantaranya Tukang Tuak Gambang Kromong Naga Mustika bersama Ida Rojani, Kompor Mleduk, Steambath, hingga Apollo. Dede mengaku untuk menemukan beberapa vinyl karya Benyamin Sueb termasuk susah-susah gampang. Pasalnya, hal ini bergantung dengan jangka waktu dan kondisi kolektor.
“Misalnya di awal-awal untuk album Kompor Mleduk di tahun 80-an masih gampang. Tapi setelah disimpan kolektor, untuk sekarang ya sudah sulit, harus dibayar mahal,” ujar mantan pemain gitaris ini.
Nilai yang harus dibayar untuk sebuah vinyl sangat bergantung pada tingkat kesulitan barang yang diinginkan oleh setiap pembeli. Album Kompor Mleduk misalnya, harganya bisa Rp. 1.5 juta hingga Rp. 2 juta bergantung kondisi vinyl.
Baca Juga: Asa Sueb Band “Membangkitkan” Kembali Benyamin Sueb
Dede juga menyatakan bahwa pembeli juga harus memperhatikan kondisi cover, apakah itu asli atau cetak ulang (repro). “Kalau repro pasti harganya jauh lebih murah, bisa hanya Rp 400 ribu, tapi suaranya pasti beda,” kata dia.
Fisik VS Digital
Seorang lelaki berjaket hitam terlihat terburu-buru sembari membawa sekeping piringan hitam dan berhenti di depan toko Dede. “Bang, saya beli kemarin ini, tapi rasanya kok CD,” komplain lelaki itu.
Sontak, Dede mengecek dan memastikan suara dari vinyl yang dibawa oleh lelaki itu. Sembari tersenyum, Dede menjelaskan bahwa memang vinyl keluaran Musica itu terbilang cetakan baru. Dari segi kualitas suara, sambung dia tak bisa dibandingkan dengan cetakan lama.
“Itu masih cetakan tahun 2005-an bang, masih terbilang baru. Bukan rusak atau bagaimana, tapi memang kualitasnya beda dengan yang lama,” jelasnya.
Dari sini, Dede menyatakan bahwa suara yang dihasilkan dari bentuk fisik (vinyl dan kaset) memang berbeda dengan bentuk digital dan keping cakram (CD). Suara analog yang seharusnya dihasilkan dari vinyl dan kaset terbukti tak dirasakan oleh lelaki itu.
“Seharusnya memang suara yang muncul seperti kita mendengarkan dan melihat (penyanyi) secara langsung. Itu analog, beda dengan CD atau platform digital yang ada di hape kebanyakan,” ungkapnya.
Preferensi bermusik tiap orang begitu beragam. Ada beberapa orang yang lebih suka menikmati suara analog yang keluar dari bentuk fisik. Namun, tak sedikit pula orang yang lebih suka mendengarkan musik melalui platform-platform digital yang telah bertebaran seperti sekarang ini.
Terlepas dari preferensi, ia mengungkap, dengan adanya penikmat musik yang mengedepankan bentuk fisik memungkinkan menghindari pembajakan. “Sekaligus menghargai karya asli pencipta lagu. Biar tahu juga siapa penyanyi aslinya, seperti halnya merawat Benyamin Sueb misalnya,” kata dia.
Awal Mula Benyamin Sueb
Adapun perkenalan Benyamin Sueb dengan musik dimulai sejak kecil. Berbekal kaleng barang bekas, ia bersama kakak-kakaknya membentuk grup musik untuk mengamen. Kemudian, minatnya untuk mengangkat Budaya Betawi melalui lagu-lagu ciptaannya semakin mencuat saat peralihan Orde Lama ke Orde Baru.
Mengutip Kompor Mleduk Benyamin S karya Wahyuni yang terbit tahun 2007, bahwa perubahan besar terjadi dalam diri Benyamin saat ia bertemu Bing Slamet. Tepatnya, saat ia mulai menulis banyak lagu Betawi dan meminta Bing Slamet untuk menyanyikan Nonton Bioskop.
Tak disangka, lagu tersebut meledak di pasaran dan mendorongnya untuk menulis banyak lagu lain misalnya Si Jampang. Sejak saat itu, Bing Slamet meminta Benyamin yang menyanyikan lagunya sendiri. Dari situlah ia mulai percaya diri untuk menggeluti dunia musik, khususnya Budaya Betawi. admin