Baju tikim dan celana pangsi kental dikenal sebagai busana para jagoan maen pukul Betawi. Warna-warnanya yang khas tak jarang digunakan sebagai identitas perguruan silat tempat mereka belajar.
Namun, ternyata tak semua jagoan maen pukul Betawi mengenakan baju tikim dan celana pangsi. Taufik Hidayat bahkan mengaku saat ia maen jurus hanya bermodalkan busana safari saja. Tak ada ketentuan layaknya jawara silat harus pakai baju tikim dan pangsi.
“Justru kalau jawara silat di sini sejak dahulu dibebaskan pakai apa saja. Saya bahkan pernah hanya bertelanjang dada dan pakai celana pendek saja,” ujar pelatih di Sanggar Silat Sabet kepada senibudayabetawi.com.
Tak hanya saat maen jurus, bahkan saat menghadiri acara-acara yang melibatkan beragam jawara silat Betawi, tak terlihat pangsi sebagai identitas perguruan atau sanggar. Itu tak lain, sambungnya karena sudah menjadi tradisi sanggar maupun perguruan di kawasan Tanah Abang yang tak biasa mengenakan pangsi.
Baca Juga: Ekspresi Kreativitas Warna Warni Pangsi hingga Silat di Sanggar Kembang Jaya Kusuma
“Kecuali kalau di momen-momen tertentu yang mengharuskan identitas kita ada seperti lomba gitu kan tetap kita pakai,” ujarnya.
Opik juga memperlihatkan foto tokoh tiga sekawan yakni Kong Mustofa, Kong Sabeni, serta Kong Rahmat. Adapun mereka merupakan guru besar yang telah menurunkan silat kepada Almarhum Edy Kumaydi, guru besar Silat Betawi Sabet Tenabang.
Tampak jelas dalam foto yang diambil pada tahun 1901, tiga tokoh tersebut berpenampilan necis dengan jas. Tak memakai pangsi. “Kalau di sekitar sini, dulu pangsi justru kerap digunakan oleh tukang delman yang akan ke Pasar Rumput,” ujarnya.
Pengaruh Melayu
Hal senada juga diungkap oleh Sejarahwan Betawi Yahya Andi Saputra. Ia menyebut, bahwa sudah menjadi hal biasa bahwa jawara silat di Tanah Abang maupun kawasan pusat tak memakai baju tikim dan pangsi. Alasannya karena unsur melayu yang lebih dominan di kawasan tersebut.
“Jadi lebih memilih busana Sadaria dibanding pangsi. Tapi bukan berarti pula tidak ada yang pakai pangsi,” ujarnya.
Adapun baju tikim (Hokkian: tui kim) dan celana pangsi (Hokkian: phang si) diadaptasi dari pakaian tradisional orang Tionghoa di Batavia. Oleh karenanya, baju tikim umumnya tak berkerah. Baju tikim yang telah diadaptasi oleh masyarakat Betawi tidak ada lagi kantong vertikal di bawah ketiak )kantong ti tou atau lambung babi yang berfungsi penyimpan thau chang (kuncir atau kepang).
Sementara celana pangsi yang digunakan jawara maen pukulan biasanya berukuran lebar. Supaya tidak lepas atau melorot, bagian atasnya diikat dengan angkin atau kain. Adapun angkin kini digantikan dengan gesper.
Bang Yahya juga menegaskan bahwa kebiasaan jawara Tenabang tak mengenakan pangsi bukan juga karena pengakuan status sosialnya sebagai orang Jakarta pusat. “Bukan (untuk alasan itu), tapi memang pengaruhnya dari Melayu yang kuat,” pungkasnya. admin