Suburnya Sohibul hikayat di tanah Betawi – Sohibul hikayat yang berkembang tak lepas dari pengaruh tradisi Timur Tengah pada zaman kolonialisme Belanda. Masyarakat Betawi yang haus akan kesenian berbondong-bondong menciptakan kesenian dengan mentransformasikan naskah-naskah Timur Tengah.
Sohibul hikayat di Betawi sejak awal juga selalu membawakan cerita-cerita dari Timur Tengah. Khususnya bagi masyarakat Betawi wilayah tengah, seperti di wilayah Tanah Abang, Pekojan dan daerah sekitar Jakarta Pusat. Di wiliayah ini pula budaya Arab mendominasi sejak awal.
Tak heran bila kemudian naskah-naskah yang dulunya ada di pesantren lalu diubah ke dalam bentuk cerita rakyat. Ciri khas cerita bernuansa dakwah dengan kandungan nilai-nilai Islam sangat terlihat. Kendati demikian, cerita dalam naskah sohibul hikayat menjadi seni hiburan. Seni tradisi sohibul hikayat yang awalnya dipelajari di langgar dan madrasah kini mengalami pergeseran.
Pengemasan cerita sohibul hikayatn dibuat semenarik mungkin untuk memacu antusias penonton. Bumbu-bumbu humor diselipkan guna menghidupkan cerita. Kendati demikian, dakwah berupa nilai-nilai Islam tak pernah terlewatkan.
Pembawa cerita sohibul hikayat biasanya akrab disebut tukang cerita atau juru hikayat. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain haji Ja’far, Haji Ma’ruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan ”wak Jait”.
Menariknya pula, pakaian yang sehari-hari juru hikayat kenakan juga bernuansa Islami. Mereka biasanya mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah dan berpeci hitam. Juru hikayat biasanya bercerita sembari santai laksana mendongeng.
Misalnya, sambil duduk bersila, sambil memengku bantal, serta sekali-kali memukul gendang kecil yang diletakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita.
Berkembangnya sohibul hikayat di Tanah Betawi justru semakin menguatkan identitas Betawi sebagai suku yang kental akan budaya dan nilai-nilai Islam. Hal ini turut menjadikan Suburnya Sohibul hikayat di tanah Betawi
Ramadani Wahyu