Pengaruh Kebudayaan Indis dalam Budaya Betawi

Merawat Warisan Keroncong Tugu Sepanjang Waktu

Merawat Warisan Keroncong Tugu Sepanjang Waktu — Lagu “Gatu Du Matu” atau “Kucing Hitam” mengalun lembut dari mulut Guido Quiko. Sembari bernyanyi pelan, ia kembali mengingat arti beberapa lirik lagu asli berbahasa Kreol Tugu itu.

Yao la teng unga gatu (Saya melihat ada seekor kucing)
Swa kabelu pretu pretu dretu (Dengan bulu lebat yang hitam)
Yo su ulu nungku bergonya (Saya melihat kucing itu tanpa terhalang apapun).

“Bertahun-tahun saya menyanyikan lagu itu, ternyata setelah ada seorang peneliti studi Portugis bernama Arief Budiman ternyata lagu itu bercerita tentang kucing,” ujar Guido sembari tertawa kepada senibudayabetawi.com, Rabu (22/12).

Guido Quiko merupakan Ketua Orkes Keroncong Tugu Cafrinho generasi keempat. Orkes ini didirikan pada 1925 oleh Joseph Quiko. Jauh sebelumnya, orkes ini bernama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe Anno yang didirikan pada 1661. Tepatnya, bebarengan dengan tahun pembebasan tawanan Portugis dan budak yang berasal dari India oleh pemerintah Belanda.

Kemudian, adik-adik Joseph meneruskan kelompok ini. Mereka adalah Jacobus Quiko dan Samuel Quiko. Namun, pada 1991, Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe Anno berubah menjadi Cafrinho yang artinya ‘bermai-ramai’.

Historis Warisan Leluhur

Guido menyebut, keberadaan komunitas Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia. Pada tahun 1511 hingga 1641, Portugis berhasil menduduki wilayah itu. Namun, tak berselang lama, pada 1648, Belanda giliran menguasai Malaka. Imbasnya, tentara Portugis seperti bangsa Malaka pelaut tidak menetap seperti Bengal, Goa, dan Malabar dijadikan tawanan perang. Mereka lalu dibawa ke Batavia dijadikan serdadu VOC.

Sebanyak sekitar 800 mereka dibawa ke Batavia dan ditempatkan di hutan lebat sarang nyamuk malaria. Dari sinilah mereka mulai membentuk peradaban di wilayah Tugu. Guido mengaku sempat melakukan tes DNA demi menilik muasal nenek moyangnya. Dan, hasilnya ia masih memiliki darah Melayu, dan Vietnam. “Bukan Portugis, tapi lebih ke Melayu, Vietnam,” tegas lelaki ini di kediamannya, di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.

Dibanding keroncong pada umumnya, Keroncong Tugu memiliki ciri khas tersediri yakni adanya alat musik macina, frunga serta jitera. Ketiganya berasal dar kayu kembang kenanga. Adapun untuk alat musik frunga dan jitera apabila dipetik menghasilkan bunyi “crong crong”. “Dari sinilah awal mula kenapa disebut musik keroncong,” imbuh lelaki yang juga Arranger Musik ini.

Tak mudah untuk mengekalkan musik Keroncong Tugu di hari-hari ini. Keunikan dan original Keroncong Tugu menjadi warisan leluhur yang bernilai tinggi. Justru, sambungnya yang paling berat adalah merawat Keroncong Tugu sepanjang waktu. Terutama menjaga agar tak ada pakem-pakemnya yang bergeser. “Sebenarnya mudah saja bagi saya yang Arranger Musik untuk mengganti atau menyesuaikan Keroncong Tugu dengan keroncong kebanyakan. Tapi saya pikir justru yang penting adalah merawat keasliannya,” beber dia.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.