Hanya Ada di Betawi, Dodol tak Sekadar Dodol Biasa

Hanya Ada di Betawi, Dodol tak Sekadar Dodol Biasa 

Senibudayabetawi.com — Hanya Ada di Betawi, Dodol tak Sekadar Dodol Biasa — Sejak 1000 tahun lalu dodol telah dikenal sebagai jajanan tradisional tertua yang ada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan keberadaan dodol dalam Kitab Ramayana yang menyebut istilah “dwadwal”, yakni kue tradisional Indonesia bernama dodol.

Kitab Ramayana merupakan sastra India yang disadur ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh masyarakat Jawa sekitar abad ke-840 hingga 930 Masehi. Bukti lain yaitu ditemukannya dodol dalam prasasti Sangguran di Malang yang diketahui dibuat oleh Kerajaan Kediri pada tahun 928 Masehi. Dalam prasasti Sangguran, dodol masih disebut sebagai “dwadwal” dan tertulis bahwa dodol merupakan jenis makanan yang termasuk ke dalam amikamikan atau camilan. Dengan karakteristik yang beragam dan bervarian, dodol tersebar di seluruh pelosok Nusantara.

Menariknya, di tanah Betawi, dodol bukan sekadar dodol biasa. Jajanan ini mendadak istimewa dan menjadi hidangan wajib bagi masyarakat Betawi. Bagaimana tidak, ketika Ramadhan tiba, permintaan dodol meningkat tajam. Ini tak lain Pasalnya, dodol lekat dengan beragam perayaan umat Islam, seperti Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Dodol selalu menjadi hidangan hantaran setiap momen Lebaran. 

Hanya Ada di Betawi, Dodol tak Sekadar Dodol Biasa

Orang Betawi sendiri memaknai dodol karena nilai filosofisnya yang ada di dalamnya. Dodol memiliki makna persatuan dan gotong royong. Ini terlihat dari proses pembuatan dodol dilakukan secara bergotong royong antara warga Betawi. Selain itu, nilai persatuan juga kerap dikatakan sebagai simbol yang digambarkan oleh dodol. 

Seperti halnya dodol Betawi milik Bu Mimin di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Ditemui senibudayabetawi.com, Bu Mimin menyatakan bahwa setiap Ramadhan, permintaan dodol selalu meningkat. Dalam sehari, ia bisa membuat 12 keceng atau kuali berdiameter satu meter. Padahal, hari biasanya Dodol Betawi Bu Mimin hanya masak tiga keceng yang biasanya dijual biasa dan sebagai pesanan acara pernikahan.

Nuansa semangat gotong royong sangat terasa di dapur dodol ini. Dengan penuh tenaga, pengaduk dodol, Ahmad mengaduk dodol. Jika sudah capek, pekerja lain bergantian mengganti mengaduk. Begitu seterusnya.

“Adonan harus terus diaduk agar tak mengeras. Kita biasa mengaduk selama kurang lebih empat jam lamanya,” ujarnya.

Dodol Betawi terbuat dari tepung ketan, gula merah, santan, gula pasir yang dimasak di atas tungku kayu bakar. 

Berbekal kayu pengaduk sepanjang dua meter, Ahmad bersama 39 pekerja lainnya terlihat begitu semangat. Sesekali terdengar kelakar di antara mereka. Terdengar akrab satu sama lain.

Makna Gotong Royong

Konon, sejak dulu pembuatan dodol Betawi biasa dilakukan secara patungan ketika menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Keluarga besar Betawi yang dulunya hidup berdekatan saling melengkapi bahan dasar pembuatan dodol.

Begitu bahan telah tersedia, maka lelaki memiliki tugas membuat adonan dan mengaduk dodol. Sementara para perempuan menyiapkan bahan-bahan dasarnya.

“Sambil menunggu dodol matang, ibu-ibu dulu menyiapkan makanan berbuka. Lalu setelah matang langsung dibagi secara asil berdasar besaran patuangan uang dodol tadi,” ujar Ibu Mimin.

Pencinta dodol Betawi, sambungnya biasanya mencari dodol yang dimasak secara tradisional di atas tungku seperti miliknya.

Selain dodol bercita rasa original, Ibu Mimin juga menyediakan dodol bercita rasa buah-buahan. Misalnya rasa durian. Satu besek dodol Betawi biasa dihargai seharga Rp. 85 ribu. 

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.