Senibudayabetawi.com – Pluralitas dan heterogenitas masyarakat Indonesia merupakan ciri khas dan keunikan yang terwujud dalam kesatuan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kemajemukan tersebut kerap memicu konflik dan berujung perpecahan. Menariknya, hal ini tak terjadi pada masyarakat Betawi loh sobat senibudayabetawi. Berbekal warisan multikulturalisme dan egaliter, masyarakat Betawi sangat terbuka terhadap etnis pendatang.
Sejarah panjang proses keberadaan kaum Betawi sebagai ras Melayu dan hidup di Paparan Sunda menurut Ishak (2012) imbas cepatnya perkembangan bahasa dan kebudayaan bangsa dari Paparan Sunda ini selama satu sampai 2 millenium. Ini artinya bahwa bangsa Melayu adalah bangsa asli yang berasal dari wilayah kepulauan dalam Paparan Sunda yang salah satu dari rumpunnya kaum Betawi.
Multikulturalisme dan pluralisme orang Betawi yang membentuk sebagai masyarakat egaliter memiliki prinsip ekuitas dan ekualitas (kesetaraan dan keadilan). Bahkan, masyarakat ini mampu berinteraksi secara terbuka dengan bangsa dan suku bangsa lainnya. Sehingga hal ini memicu proses asimilasi dan akulturasi dengan bangsa lain.
Beberapa budaya bangsa seperti Arab, Tiongkok, Eropa, dan Champa terakulturasi dengan Betawi. Asimilasi domestik juga terjadi dari bagsa serumpun seperti Sunda, Iawa, Minangkabau, Mandailing, Tapanuli, Banjar, Bugis, Maluku, Bali, Melayu (Lingga), Aceh, Bima, dan lainnya.
Bagaimanapun, proses ini semakin memperkuat karakter suatu masyarakat sebagai bagian utama dari masyarakat yang lebih besar. Sebab, budaya di dalamnya memuat nilai kebersatuan (integralitas). Melalui nilai tersebut, orang Betawi tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat multikultural dan pluralis.
Proses Sejarah yang Panjang
Tak hanya itu, masyarakat Betawi juga otomatis tidak memiliki ikatan kedaerahan sebagaimana masyarakat dari berbagai suku bangsa lain. Oleh karenanya, tak berlebihan bahwa kaum Betawi bukan kaum migran di suatu wilayah. Akan tetapi, sebuah kaum yang menempuh proses sejarah membuka diri dan tak pernah mengkotak-kotakkan budaya lain untuk menanamkan warisan multikulturalisme.
Sejarawan Betawi, JJ Rizal mengatakan bahwa, orang Betawi yang kosmopolit siap dengan berbagai pertemuan yang memungkinkan mereka melahirkan kebudayaan baru.
Masyarakat Betawi yang egaliter sejatinya seiring dengan pandangannya terhadap nilai-nilai religius dan berpotensi mengharmonisasikan dimensi keislaman dalam kemajemukan. Proses pendidikan kaum Betawi melalui lembaga pendidikan Islam (formal, informal, dan non formal) telah membentuk kesadaran untuk menolak nilai-nilai lama kesukuan (Haesy, 2017: 304).
Dalam diri kaum Betawi mengalir esensi nilai kepribadian yang bersumber dari ajaran agama Islam. Kaum Betawi dicirikan oleh kesetaraan (sikap egaliter), agama Islam, bahasa dan kebudayaan. Itulah sebabnya mengapa kaum Betawi tidak memandang penting gelar dan pemeringkatan struktural kehidupan sosialnya.
Nilai ini yang memungkinkan kaum Betawi lebih fleksibel dan akomodatif terhadap perubahan sosial Kesimpulan Sebagai suatu ideologi, multikulturalisme dapat menjadi wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia yang melegitimasi keanekaragaman budaya.