Senibudayabetawi.com – Begitu banyak dalam hidup kita dihadapkan pada ekspektasi: ekspektasi orang tua hingga sosial. In The Middle of Everything adalah pameran yang mencoba menyelami pencarian jati diri seniman Lala Bohang. Seniman kerap kali dihadapkan oleh ekspektasi lingkungan tapi tak benar-benar mendengar suara hatinya sendiri.
Kafe Dialogue Kemang Jumat (12/5) sore penuh dengan berbagai karya Lala Bohang. Temaram cahaya sore menghangat menyambut tulisan dan karya yang menyatu dalam buku In The Middle of Everything.
In The Middle of Everything menandai satu dekade sejak Lala berpameran tunggal melalui Gendis (2013) di LIR Space, Yogyakarta.

Kali ini, melalui buku dan pameran yang berangkat dari judul yang sama, Lala tidak sibuk memberikan batas peran di antara mediumnya. Namun, ia justru menggunakan lingkaran pengingkaran dalam dualisme yang ganjil — antara selimut dan masa lalu yang berkabut, romantisme dan pernikahan, kemacetan Jakarta dan masa depan yang dipenuhi bualan.

Bahwa tertimbun tumpukan pakaian kotor atau terjebak di sudut pikiran yang gelap, merenungi kenangan masa lalu atau serangan kantuk dan rasa bosan saat berada di ruang tunggu terapis mental, pada dasarnya sama. Mereka gambaran kasar yang berdiri sebagai antara, bukan tujuan dan tidak akan menjadi asal.
Dengan lain kata, In The Middle f Everything bukan keheningan yang hitam atau kebisingan yang putih, sebab setiap orang memiliki kebebasan untuk melihatnya sebagai harapan atau bahaya.
Ekspektasi
Lala Bohang menyebut bahwa kehadiran In The Middle of Everything mencoba menjadi benang untuk merajut antara ekspektasi dan jati diri.
“Kita terbiasa dihadapkan ekspektasi baik dari keluarga maupun society. Dan kita tidak tahu diri kita seperti apa. Jadi aku ingin kenal diriku seperti apa itu yang lebih penting,” kata dia.

Dalam hal ini, seniman kerap kali dihadapkan pada produktivitas berkarya untuk memenuhi ekspektasi pasar. Namun, Lala Bohang berpikiran bahwa justru saat terutama di masa pandemi karyanya In The Middle of Everything mencoba membebaskannya.
Ramadani Wahyu