Senibudayabetawi.com – Hadirnya apotek seiring dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan imbas wabah yang terus menerus berkembang pada akhir abad ke-19. Wabah seperti cacar air, kolera, hingga malaria menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di Hindia Belanda. Namun, perkembangan apotek tak lepas dari kontribusi hadirnya “apotek tradisional” berupa toekang rempa-rempa pada abad ke-19.
Hans Pols dalam artikelnya berjudul European Physician and Botani, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediaton menulis seputar pengobatan di Hindia Belanda. Ia menyatakan, perjalanan dokter dan pengobatan modern berupa farmasi Eropa yang ada berkat adanya pengobatan local yang justru ada di Hindia Belanda.
Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat Hindia Belanda telah memiliki local genius atau budaya lokal terkait dengan layanan farmasi. Mereka kerap menyebut layanan ini sebagai toekang rempa-rempa dan kerap kali ada di pasar.
Peran Penting Dukun dalam Pengobatan
Ya, bukan lagi rahasia umum bahwa tempo dulu jauh sebelum fasilitas kesehatan modern berkembang, banyak masyarakat yang menggunakan jasa dukun. Menurut Boorsma, biasanya dukun adalah seorang laki-laki atau anak tertua dalam sebuah keluarga. Mereka memiliki pengalaman penyembuhan turun temurun sebagai warisan. Meski masih membutuhkan pembelajaran lebih secara informal, mereka telah dipercaya dapat menyembuhkan.
Sebagai tenaga farmasi, dukun memberikan obat setelah ia mendiagnosa penyakitnya. Uniknya, mereka kerap kali memanfaatkan tumbuh-tumbuhan, binatang hingga air dalam pengobatannya. Adapun untuk tumbuh-tumbuhan yang kerap digunakan yakni tumbuhan liat yang tak jauh dari rumahnya. Jauh sebelum banyaknya pembangunan gedung-gedung, mereka memiliki berbagai macam keragaman jenis tumbuhan di sekitarnya.
Jika para dukun ini tak memiliki bahan untuk obat maka mereka mencari obat-obatan pada toekang rempa-rempa yang ada di setiap pasar. Para toekang rempa-rempa ini biasanya memiliki warung tempat mereka menjajakan obat-obatan. Boorsma bahkan menyebut bahwa warung tempat toekang rempa-rempa ini seperti halnya apotek yang terpampang dan bisa dilihat pembeli.
Uniknya, bahan-bahan obat yang tersimpan dalam kaleng atau kotak-kota kecil disimpan rapi sesuai jenisnya. Mereka menyediakan sendiri obat-obatan jadi atau bahan racikannya.
Apotek Tradisional Mempunyai Layaknya Apoteker
Seperti halnya para apoteker, mereka tak sekadar menjual obat pada pembeli. Namun sekaligus memberikan petunjuk cara pengobatannya seperti halnya konsultasi penyakit. Oleh karena itu, masyarakat kebanyakan mempercayai kemampuan toekang rempa-rempa layaknya dukun.
Para toekang rempa-rempa memperoleh bahan dari toekang akar-akar, yakni mereka yang mencari bahan obat-obatan dari hutan kemudian menjual hasilnya pada toekang rempa-rempa. Bahkan mereka juga kerap membeli obat-obatan pada toko Cina. Toko obat Cina dilengkapi ahli farmasi yang kerap disebut sinse.
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-19, banyak orang Eropa yang tertarik mengamati tumbuhan sebagai obat yang ada di Jawa. Buku buku tersebut diantaranya De Medica Indoerm karya Jacob de Bondt atau lebih dikenal sebagai Bontius tahun 1631 dan Buku Het Amboinesche Kruideboek tahun 1628 yang ditulis oleh J.G.E Rumphiusm.
Hingga akhir abad ke-19, dalam Kolonial Verslag (Laporan Koloni), pemerintah Hindia Belanda mencatat jumlah dukun sebanyak 11.000 orang di Jawa dan Madura.
Ramadani Wahyu