Senibudayabetawi.com – Kematian di dalam berbagai kebudayaan apapun hampir selalu disikapi penuh dengan ritualisasi. Ini karena adanya kepercayaan bahwa kematian dinggap bukan bentuk akhir dari suatu kehidupan. Dalam agama Islam, demikian dalam budaya Betawi memiliki tahapan mulai dari memandikan, mengkafani, menyolatkan hingga menguburkan ke dalam liang lahat.
Melansir dari setubabakan.com, berbagai prosesi kematian tersebut kebanyakan dilakukan oleh para lelaki. Sementara para perempuan tinggal di rumah dan mempersiapkan sedekahan untuk acara tahlilan pada malam pertama hingga malam ketujuh dan malam keempat puluh. Bagaimanapun, masyarakat Betawi memaknai prosesi kematian sebagai bentuk kegotongroyongan.
Orang Betawi biasa menangani persoalan kematian, termasuk dalam memandikan, membersihkan jenazah, menggali kubur, merawat kain kafan, dan menggali kubur secara gotong royong. Demikian, kegotongroyongan ini masih terus dapat terlihat hingga pada malam kelima belas. Ini karena sepanjang hari, masyarakat dan tetangga sekitar masih tetap memberikan bantuan moril dan material kepada sohibul musibah.
Pemaknaan Bunga dalam Kematian
Dalam Etnobotani Tanaman Pada Ritual Kematian di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, masyarakat Betawi kerap menggunakan bunga saat menjalankan ritual adat kematian, diantaranya bunga melati, mawar dan kenanga. Bunga tersebut berfungsi sebagai wewangian, bunga tabur di makam, dan dirangkai sebagai bunga ronce. Makna dari ronce adalah untuk mengingatkan sekaligus mendidik masyarakat akan tanggung jawabnya di dunia.
Masyarakat Betawi Setu Babakan menggunakan daun pandan sebagai hiasan pada pembuatan ronce dengan cara merangkai bunga-bunga setaman. Selanjutnya ini diletakkan di atas keranda saat jenazah akan dimakamkan. Daun ini juga berfungsi sebagai pengharum saat prosesi pemandian jenazah berlangsung.
Selain menggunakan daun pandan, prosesi pemandian jenazah juga menggunakan batang pisang dan tanaman cendana. Biasanya tanaman cendana yang digunakan yakni yang telah dihancurkan seperti bubuk. Jenazah akan dimandikan dengan air tawar dan memakai sabun mandi layaknya orang mandi. Selesai mandi, makramas, dan masing, mayat disiram dengan air kumkuman. Air ini terbuat dari asap kemenyan dan kayu harum seperti Cendana dengan tujuan agar orang yang meninggal bersih baik fisiknya maupun rohnya.
Tak hanya itu, mereka juga kerap menggunakan dadap (Erythrina subumbrans) sebagai pengharum dalam proses memandikan jenazah di kalangan masyarakat Betawi Setu Babakan. Pemakaiannya sangat mudah, yakni tinggal dicampurkan dengan air mandi jenazah hingga aroma dari daun dadap keluar.
Tanaman terakhir yang digunakan sebagai pengharum dalam ritual kematian kalangan masyarakat Betawi Setu Babakan yaitu daun bidara (Ziziphus Mauritiana). Dalam agama Islam, tanaman ini disunahkan untuk memandikan jenazah.
Sajian dalam Selamatan Betawi
Dalam Ekowisata Kuliner Tradisional Betawi, bahwa upacara kematian diselenggarakan oleh para anggota keluarga. Pelaksanaan selamatan atau sedekahan juga diadakan pada malam ke-3, malam ke- 7, malam ke-15, malam ke-40. Selanjutnya yakni malam ke-100 hari dan malam ke- 1000.
Adapun untuk jenis kuliner yang biasa disajikan masyarakat Betawi tempo dulu pada fase ini yakni nasi begané. Kenapa disebut nasi begané? Karena karena nasi putih ini disajikan dengan lauk-pauk utamanya adalah begané. Diketahui masakan begané yakni terdiri atas tumis kering ayam cacag.
Selanjutnya pada tige ari disediakan lauk berupa dadar gulung. Sementara pada malam ke-7 disediakan nasi biasa lengkap. Khusus pada malam kelima belas disediakan ketupat sayur. Sedangkan pada malam ke-40 disajikan ketupat sayur laksa dan sate pentul. Terakhir pada acara haul (peringatan 1000 hari) umumnya orang kaya menyediakan nasi kebuli dan pacri.
Ramadani Wahyu