Senibudayabetawi.com – Budaya rijsttafel yang sempat populer di masa kolonial abad ke-19 nyatanya berkembang sangat dinamis hingga pasca kemerdekaan. Namun ternyata terdapat perbedaan signifikan budaya rijsttafel pasca kemerdekaan dan sebelumnya. Bagaimana sih perbedaannya?
Secara harafiah, rijst berarti nasi dan tafel artinya meja, disatukan menjadi “hidangan nasi”. Orang Belanda menggunakan istilah ini untuk menyebut jamuan hidangan Indonesia yang ditata lengkap di atas meja makan. Yang menjadi special dari rijsttafel adalah perpaduan budaya makan bumiputera dan Belanda sebagaimana tampak dari pelayanan, tata cara makan hingga hidangannya.
Dalam Rijsttafel Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, Fadly Rahman menyebut eksistensi rijsttafel tak dapat terpisah dari hubungan sosial budaya orang Belanda dan bumiputera. Dalam pandangan umum orang Belanda yang pernah hidup di Indonesia, rijsttafel dinilai mewah dan menunjukkan kemasyhuran. Ini terlihat dari tampilan penataan meja dan hidangan dengan sentuhan gaya barat.
Pada masa kolonial Belanda, budaya rijsttafel memang banyak tersebar di pulau Jawa terutama di daerah Vorstenlanden yaitu daerah Yogyakarta, Surakarta, Jakarta. Setelah masa kolonial berakhir dan pada masa pemerintahan Jepang tidak boleh ada hal yang berkaitan tentang Belanda. Budaya rijsttafel yang awalnya banyak ditemukan di daerah-daerah Pulau Jawa, ternyata juga menyebar hingga luar Pulau Jawa.
Rijsttafel Pasca Kemerdekaan
Adapun perubahan yang tampak pada penyajian rijsttafel pasca kemerdekaan yakni lebih menggunakan model prasmanan – seperti saat ini yang digunakan dalam acara atau pesta. Demikian dalam pelayanannya tidak banyak menggunakan pelayan seperti pada masa kolonial Belanda.
Hidangan rijsttafel pasca kemerdekaan juga menghilangkan kesan-kesan yang berbau kolonial. Contohnya seperti menggunakan istilah small rice table dalam menggantikan istilah rijsttafel agar menunjuk arti hidangan yang relatif berjumlah sedikit dan sederhana.
Saat pasca kemerdekaan, budaya rijsttafel mulai sering dijumpai di beberapa restoran-restoran. Lain halnya saat masa kolonial, keberadaan budaya rijsttafel hanya di hotel-hotel yang bertujuan menjamu para wisatawan asing. Namun, saat masa kependudukan Jepang, budaya ini sempat dilarang.
Pemerintahan Jepang menggunakan hotel-hotel tersebut sebagai tempat penyediaan fasilitas perang tentara Jepang sehingga budaya rijsttafel tidak dapat berkembang. Mereka bahkan menghapus segala hal yang berkaitan dengan kolonial Belanda. Selanjutnya budaya rijsttafel mulai dari tahun 1946- 1950 atau setelah kemerdekaan, terbukti berkembang kembali.
Ramadani Wahyu