Saat Orang Betawi Tempo Dulu Melanggengkan Perkawinan Turun Ranjang

Saat Orang Betawi Tempo Dulu Melanggengkan Perkawinan Turun Ranjang

Senibudayabetawi.com – Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan penting bagi masyarakat Betawi. Makna kesetiaan dan keberlanjutan rumah tangga perlu dilanggengkan, bahkan kalau perlu melalui bentuk perkawinan turun ranjang. Ya, pada suku Betawi tempo dulu, mereka memiliki tradisi perkawinan turun ranjang, saat di mana pasangan suami atau istrinya meninggal dan digantikan dengan ipar dari istri atau suami pasangan tersebut.

Masyarakat Betawi sangat percaya bahwa perkawinan tak sekadar penyatuan kasih dua orang melalui ikatan suci. Namun juga menyatukan keluarga satu dengan keluarga lainnya. Terlebih nilai-nilai masyarakat Betawi sangat lekat dengan kekeluargaan dan kebersamaan. Alih-alih perkawinan hanya bentuk menghindari zina, tapi menjaga keberlanjutan dua keluarga.

Perkawinan turun ranjang menjadi salah satu tradisi yang telah dilaksanakan berabad-abad oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Bentuk perkawinan ini terjadi bila salah satu pasangan meninggal dan digantikan dengan ipar yakni adik dari suami atau istri tersebut.

Pernikahan Turun Ranjang dalam Tradisi Masyarakat Betawi, menyebut bahwa perkawinan turun ranjang bukan hal baru. Di masa lalu, masyarakat budaya adat Betawi telah melazimkan tradisi ini dan berlangsung berabad-abad. Adapun tujuannya untuk menjaga kelangsungan rumah tangga keluarga tersebut agar tak jatuh pada pihak keluarga lain.

Namun, seiring perkembangan zaman dan pemikian masyarakatnya, tradisi ini hampir tak pernah terjadi lagi. Bentuk penggantian peran ini bertujuan demi kelangsungan rumah tangganya agar tak jatuh ke tangan pihak orang lain. Namun, karena perkembangan zaman dan pola pemikiran mengakibatkan bentuk perkawinan ini hampir tak pernah terjadi lagi

Adapun untuk melangsungkan perkawinan ini, dalam kondisi pihak perempuan ditinggal suaminya maka harus tetap menunggu masa iddahnya selesai. Setelah itu, baru bisa melangsungkan perkawinan dengan ipar sang suami.

Sembilan Tahapan Pernikahan Adat Betawi

Menurut Abdul Chaer dalam bukunya bertajuk “Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi” menyebut bahwa setidaknya terdapat Sembilan tahapan dalam pernikahan adat Betawi. Pertama, ngeledengin atau melihat-lihat. Pada tahapan ini, calon mempelai laki-laki memastikan calon mempelai perempuan telah memiliki seseorang atau belum. Kedua, silaturahmi antara pihak laki-laki berkunjung ke rumah keluarga perempuan.

Selanjutnya yakni tahap lamaran. Pihak keluarga mempelai laki-laki secara resmi menyatakan maksud dan tujuan ke pihak perempuan. Keempat, jika lamaran telah disetujui pihak perempuan maka keluarga laki-laki datang membawa tande putus. Kelima, turut dilakukan juga perawatan pada calon pengantin selama 10 hari sebelum akad nikah atau masyarakat Betawi menyebutnya Piare Calon None Penganten.

Selanjutnya, sehari sebelum pernikahan, pengantin perempuan harus melakukan mandi kembang. Tahap selanjutnya yakni sebagai malem mangkat saat pihak laki-laki persiapan kebutuhan seserahan untuk dibawa ke pihak perempuan. Tahapan kedelapan yakni ngerudat masa di mana kedua mempelai melakukan akad nikah. Terakhir, yakni tahap pulang tiga hari, yakni setelah menginap tiga hari di rumah pengantin perempuan, pengantin giliran menginap ke rumah pihak laki-laki.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.