Senibudayabetawi.com – Tradisi Buleng, bagian dari seni tradisi masyarakat Betawi dinyatakan punah sejak tahun 1980-an. Namun, tradisi lisan ini kembali dipentaskan tahun 2016 oleh Suaeb Mahbub pada peluncuran buku Kembang Goyang di Gedung Arsip Mandiri Kota Tua. Lantas bagaimana pewarisan tradisi buleng?
Mungkin saat ini hanya sedikit yang akrab dengan tradisi buleng. Maklum saja karena eksistensinya di ambang kepunahan seiring sedikitnya jumlah permintaan dari masyarakat untuk menampilkan kesenian ini. Imbasnya, berkurangnya minat seniman Betawi untuk menekuni tradisi lisan ini.
Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Betawi dalam Tradisi Lisan Buleng, tradisi ini merupakan sastra lisan masyarakat Betawi yang mengkisahkan kehidupan raja atau tentang kehidupan sehari-hari. Istilah kata buleng dalam masyarakat Betawi mempunyai arti dongeng atau cerita.
Salah satu ciri khas buleng yakni adanya akulturasi bahasa antara bahasa Betawi dan Sunda. Dalam pementasannya, tradisi buleng dipertunjukan dalam bentuk prosa atau prosa liris. Sementara ngebuleng merupakan tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Betawi pada zaman dahulu.
Menurut tim peneliti Kebudayaan Betawi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) menyatakan kesenian buleng juga dinyatakan punah pada 2010. Ini dikarenakan tidak adanya pewaris ataupun penggiat seni Betawi yang memainkan buleng.
Pewarisan Tradisi Buleng
Adapun pewarisan tradisi lisan buleng ini memiliki karakteristik tersendiri. Sistem pewarisan buleng di kampung Marunda Kepu misalnya terdiri dari dua kategori berdasarkan prosesnya, yakni secara internal dan secara eksternal.
Pewarisan internal yaitu pewarisan buleng secara kekerabatan atau berada di suatu lingkungan yang sama. Tradisi buleng yang diwariskan Suaeb Mahbub dilakukan secara internal kepada Opik, salah satu pemain tehyan di sanggar Pitung Marunda.
Sementara pewarisan eksternal, justru Suaeb dapatkan dari hasil pencariannya mengenai data visual Buleng dan diskusi dengan salah satu tokoh Betawi yaitu Yahya Andi Saputra dari Lembaga Kebudayaan Betawi.
Cerita Tradisi Lisan Buleng Bernuansa Sunda
Masyarakat Betawi ini kerap kali menganggap dirinya orang Betawi yang bernenek moyang orang Sunda. Tak ayal jika jika mereka cenderung memilih cerita-cerita yang berwarna kesundaan, seperti CiungWanara, Telaga Warna, Raden Gondang, Gagak Karancang, Dalem Bandung. Sesuai dengan cerita, biasanya bahasa yang dipergunakan oleh Buleng adalah bahasa Melayu Tinggi yang mengalami akulturasi dengan Bahasa Sunda.
Uniknya, tradisi buleng memiliki kesamaan dengan sahibul hikayat dalam hal menyampaikan cerita dalam bentuk prosa. Perbedaannya hanya tema dan Bahasa yang digunakan keduanya berbeda. Buleng bertemakan cerita kesundaan dan berbahasakan melayu yang mengalami akulturasi dengan bahasa sunda.
Ramadani Wahyu