Menilik Makna Perempuan dalam Tari Sip Pat Mo Khas Betawi

Menilik Makna Perempuan dalam Tari Sip Pat Mo Khas Betawi

Senibudayabetawi.com – Percampuran silang budaya atau akulturasi antara budaya Betawi dan peranakan Tionghoa melahirkan tarian khas. Salah satunya yaitu tari Sip Pat Mo. Menariknya, secara turun temurun, tarian ini didukung dan dianggap sebagai tarian rakyat Betawi.

Meski sama-sama berasal dari akulturasi budaya Betawi dan peranakan, tarian Sip Pat Mo berbeda jauh dengan tari Cokek. Dalam Penggambaran Perempuan dalam Budaya Peranakan melalui Penciptaan Karya Tari Cokek Berjudul Nyai Cukin Era Jakarta Tempo Doeloe (2022), tari Sip Pat Mo memiliki ciri khas tarian ritual berupa gerakan lemah lembut dan gemulai dan jauh berbeda dengan gerak Cokek sebagai tarian pergaulan.

Selain itu, gerak  tari  Cokek lebih mendominasi di bagian gerak di pinggul yaitu bergerak punggung – punggungan antara penari wanita dengan penari pria. Adapun gerakan pinggulnya ini bergerak membentuk seperti angka 8, yang digerakkan mulai dari level atas hinggal level bawah.

9 Titik Simbol Gerak Tari Sip Pat Mo

Sementara, gerak tari Sip Pat Mo memiliki 9 titik simbol gerak yang  terdiri  dari  sembilan  lubang  yang  harus  dijaga  dan  ditaati  oleh  perempuan. Adapun  sembilan lubang tersebut terdiri dari:

  • Kedua  mata,  artinya  tidak  boleh  melihat  hal – hal  yang dianggap  negatif  yang  dapat mempengaruhi jiwanya.
  • Kedua  telinga,  artinya  tidak  boleh   mendengar  bisikan-bisikan   yang  dari hasil pembicaraan orang lain.
  • Kedua  lubang hidung, artinya tidak boleh  mencium sesuatu yang dianggap bisa  merugikan diri sendiri.
  • Mulut, artinya tidak boleh mengeluarkan kata -kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain
  • Lubang kemaluan wanita, artinya menjaga jati diri kesucian bagi seorang perempuan
  • Lubang anus, artinya dipergunakan hanya untuk hal yang wajar

Kesembilan titik simbol gerak ini mempunyai arti yang dijaga sebagai seorang wanita. Kesembilan lubang tersebut yang dapat mencirikan tarian ini sebagai tarian ritual.

Dalam Peranakan Tionghoa Indonesia – Sebuah Perjalanan Budaya, Mona  Lohanda  menuliskan  bahwa  kontak  budaya  antara masyarakat  Tionghoa dan masyarakat  Indonesia  terjadi  sejak  abad  ke-V Masehi. Para pedagang yang berasal dari propinsi selatan di Cina berlayar ke kota pelabuhan di semenanjung laut Cina dengan menggunakan kapal layar yang bernama jukung.

Selama  menunggu  waktu  untuk kembali ke daerah asalnya, terjadilah perkawinan silang antara pedagang Tionghoa dengan perempuan setempat.

Dalam abad – abad berikutnya terjadi asimilasi Tionghoa ke dalam komunitas lokal dan melahirkan komunitas budaya peranakan.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.