Menilik Dodol Betawi sebagai "Kue Lelaki"

Menilik Dodol Betawi sebagai “Kue Lelaki”

Senibudayabetawi.com – 10 jam merupakan waktu yang diperlukan untuk memasak dodol khas Betawi. Tak ayal bila banyak orang menyebut dodol sebagai “kue lelaki” karena hanya tenaga lelakilah yang sanggup mengaduknya. Itupun mereka harus bergantian setiap 15 menit. 

Saat semua bahan dodol baru dimasak, mengaduk adonan ini tidaklah berat karena masih cair. Namun, begitu adonan mengental dan makin padat maka diperlukan tenaga lebih untuk mengaduknya. Ketika sudah matang, dodol dipotong selanjutnya dibungkus.

Perekat Nilai Gotong Royong dalam Masyarakat Betawi

Sekarang, soal dodol Betawi. Jangan dikira sekadar campuran ketan, gula Jawa, dan kelapa. Namun, di balik dodol ini mengandung nostalgia orang-orang Betawi, terutama saat mereka belum terpuruk ke sudut-sudut kota. 

Saat mereka masih menjadi tuan di daerahnya sendiri, dodol lah menjadi bukti akan lekatnya nilai gotong royong tradisi orang Betawi. 

Selama sebulan puasa, terutama menjelang Lebaran, banyak orang Betawi di Kelurahan Joglo beramai-ramai membuat dodol. Diawali dengan sembahyang subuh, orang-orang Betawi datang ke salah satu rumah yang ditunjuk untuk membuat dodol. 

Dodol Adalah Kue Lelaki

Masalahnya, proses ngaduk dodol inilah yang paling berabe. Bagaimana tidak, anak kecil saja bisa melakukannya dengan enteng. Tapi saat mulai kental, hanya lelakilah yang harus bertugas. Lama mengaduk bahkan hingga 10 jam. 

“Boleh dibilang dodol ini adalah kue lelaki, karena hanya lelakilah yang bisa mengerjakannya,” kata pengamat budaya Betawi Yahya Andi Saputra kepada senibudayabetawi.com

Namun, ia tak menampik peran penting perempuan. Misalnya, dalam proses penggilingan ketan hingga memarut kelapa. 

Ada alasan lain untuk menyebut dodol Betawi sebagai kue gotong royong. Adapun tak pernah ada cerita bahwa dodol dibuat dalam jumlah yang lebih kecil. Dalam pembuatannya selalu minimal satu kuali, atau minimum 40 liter ketan. 

Jumlah seberat ini mau tak mau langsung menuntut untuk dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong antar tetangga. Beberapa pemuda saling bahu membahu “mendayung” dodol. 

Bila sudah jadi, dodol yang telah matang diiris-iris dalam bungkusan dengan berbagai ukuran. Selanjutnya, bungkusan ini akan diantarkan ke para tetangga. Satu kuali 40 liter ketan bisa untuk 40 tetangga. 

Mengaduk Dodol di Emperan Depan Rumah

Tempo dulu mengaduk dodol juga sengaja dilakukan di emperan depan rumah. Maksudnya juga supaya setiap orang yang lewat tahu bahwa si empunya rumah sedang punya kerja. 

“Ia tak memaksa meminta bantuan tapi toh banyak yang membantunya. Justru karena pengadukan dodol di emperan maka sedikit banyak itulah sendi-sendi gotong royong,” papar dia. 

Soal kebersihan dalam membuat dodol juga tak perlu diragukan. Sebab, memasaknya membutuhkan waktu 10 jam. Kayu yang dibakar tak boleh bernyala marong agar dodol bisa matang secara wajar. 

Selain itu, pembuatan dodol juga memakai sarat khas Betawi yaitu menggunakan sirih, cabe, dan bawang yang ditusuk lidi. Selanjutnya lidi tersebut ditancapkan di pelepah batang pisang sebagai penyangga kuali. “Tak banyak orang tahu kenapa pembuatan dodol mesti disertai sarat itu. Karena dilakukan turun temurun,” ujar dia. 

Rasa dodol Betawi boleh jadi sederhana. Tapi penganan sederhana ini ternyata banyak maknanya. Makan dodol sekaligus menyadarkan akan arti nilai gotong royong, rukun kampung dan meminta maaf saat Hari Raya Idhul Fitri.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.