Senibudayabetawi.com – Permainan tradisional Betawi bernama sala buntut sekilas tampak seperti “judi”. Selain dibutuhkan kejujuran, permainan ini juga memerlukan keterampilan dan strategi. Tak ayal jika sala buntut biasa dimainkan oleh anak laki-laki Betawi berusia 7-13 tahun.
Berbekal bebijian melinjo yang belum dikupas kulitnya, anak laki-laki Betawi berkumpul di tanah lapang terbuka untuk memulai permainan. Mereka juga bisa berkumpul di halaman rumah, hingga kebun dengan tanah yang luas.
Dalam Permainan Tradisional Anak Betawi (2011), Hermansyah M menjelaskan cara bermain sala buntut. Awalnya, para pemain membuat dua garis sejajar yang satu sama lain berjarak 3 meter. Garis-garis itu digunakan untuk menempatkan biji-biji melinjo yang jadi sasaran lempar. Mereka mengaturnya berderet. Adapun jumlahnya tidak pasti tergantung perjanjian atau aturan yang dibuat bersama antara para pemain. Para pemain harus meletakkan beberapa taruhan yang telah ditetapkan di tempat itu.
Uniknya, biji melinjo tersebut tak asal ditaruh berjejer. Tapi ditata sedemikian rupa diurutkan dari kiri ke kanan. Ujung paling kiri disebut kepala dan ujung yang paling kanan disebut ekor atau buntut.
Nah, setelah deretan biji melinjo, setiap pemain harus menyiapkan gacoan sendiri-sendiri, yakni biji melinjo yang dianggap pilihan yang akan dipakai untuk melempar sasaran berupa deretan biji di atas.
Berdiri di garis pidian setiap peserta akan melempar gacoan tapi tak diarahkan pada sasaran. Tujuannya, agar gacoan yang paling dekat jaraknya dari deretan melinjo akan mendapatkan giliran lebih dahulu dari pada yang lebih jauh.
Demikian berturut dilakukan oleh setiap pemain sehingga akan diperoleh urutan giliran melempar sasaran dari yang paling dahulu sampai yang paling pengabisan.
Aturan Bermain Sala Buntut
Bila seorang pemain dalam gilirannya untuk lemparan pertama bisa mengenai salah satu biji di garis deretan maka bisa meneruskan permainan. Demikian pula bila masih bisa mengenai lagi dan seterusnya sampai bidikan tak mengenai sasaran (tapi jarang sampai lebih dari 3 kali karena memang cukup sulit, bahkan tak jarang meleset pada lemparan pertama).
Akan tetapi bidikan yang kedua atau seterusnya itu tak lagi dilakukan dengan cara melempar (dengan lengan) tapi menyentil gacoan dengan jari saja. Dengan tak mengenanya bidikan akhir maka permainan digantikan oleh pemegang giliran berikutnya dan seterusnya.
Setiap bidikan yang tidak mengenai sasaran akan diikuti dengan dibiarkannya gacoan yang melenting lewat sasaran tadi ditempatnya berhenti. Baru setelah langkah ini, giliran berikut menyusul dengan cara yang sama dengan yang pertama.
Apabila bidikan sentilan itu tak mengenai sasaran maka seperti apa yang telah dilakukan oleh giliran-giliran terdahulu, sampai akhirnya tiba pada giliran yang penghabisan mengalami hal yang sama.
Ramadani Wahyu