Senibudayabetawi.com – Bagi masyarakat Betawi yang kental dengan nilai-nilai Islam, hampir seluruh aspek kehidupan memiliki makna filosofinya tersendiri, termasuk rumah yang lengkap dengan desain dan isinya.
Secara umum, rumah etnik Betawi memiliki bentuk terbuka yang menandakan karakter masyarakat Betawi yang terbuka terhadap dunia luar. Sifat keterbukaan ini terlihat dari pola tata ruang, pola tapak halaman rumah, bentuk bangunan dan ragam hiasnya.
Nah, tak sekadar bentuknya yang memiliki nilai filosofi tersendiri, tapi juga bagian-bagian rumah keseluruhan. Dalam Rumah Etnik Betawi, Doni Swadarma dan Yunus Aryanto (2002) menjelaskan berbagai macam makna filosofi dari rumah Betawi beserta isinya.
Filosofi Balaksuji
Balaksuji merupakan konstruksi tangga pada rumah panggung Betawi. Konstruksi tangga ini jarang dijumpai pada rumah Betawi bukan panggung.
Pada rumah Betawi panggung, siapapun yang akan memasuki rumah harus melalui tangga terlebih dahulu. Sama halnya dengan kolam air di depan masjid untuk membersihkan kaki bagi orang yang ingin masuk ke dalamnya.
Artinya, orang yang akan masuk ke rumah Betawi tersebut harus membersihkan kaki terlebih dahulu. Secara filosofis, bukan sekadar bersih lahiriah tapi juga bersih batiniah. Orang yang menaiki tangga menuju ke rumah artinya sedang menuju proses kesucian.
Filosofi Ragam Hias
Tampilan rumah Betawi dilengkapi aneka bentuk ragam hias yang masing-masing ragam hiasnya memiliki makna filosofi tersendiri yang melambangkan sifat-sifat yang dimiliki masyarakat Betawi.
Pertama, bentuk tumpal merupakan bentuk gunung yang artinya kekuatan dan keseimbangan alam. Ada pula bentuk bunga melati yang mengisyaratkan pesan keceriaan penghuni rumah, keharuman yang artinya menjaga kebersihan serta keramahan yang dimiliki masyarakat Betawi.
Selanjutnya yaitu simbol matahari yang menunjukkan harapan si pemilik rumah agar hatinya senantiasa diterangi seperti matahari yang menerangi bumi. Selain itu, ada pula motif tanaman seperti tapak dara, kecubung, dan jambu mete yang mengindikasikan kedekatan masyarakat Betawi dengan alam.
Filosofi langkan
Langkan atau pembatas hampir selalu ada di rumah Betawi. Berbahan kayu dan bersimbol patung manusia, langkan juga kerap diartikan sebagai simbol penjaga rumah.
Filosofi langkan juga menggambarkan etika bagi orang yang ingin bertamu sebagiknya melewati pintu depan rumah. Bagi orang Betawi, tamu yang masuk lewat pintu samping atau belakang merupakan etika yang dianggap kurang baik.
Filosofi Pendaringan
Pendaringan disimbolkan sebagai sebuah pusaka tempat menaruh beras. Orang Betawi tempo dulu merasa pantang bila melihat langsung ke dalam pendaringam, apalagi pendaringan orang lain.
Mereka percaya bahwa siapapun yang melihat pendaringan menyebabkan dampak tersendiri. Pertama, bila ternyata Cadangan beras tersebut masih banyak, dikhawatirkan pemilik rumah menjadi malas karena merasa masih banyak memiliki beras. Sementara bila ternyata beras tinggal sedikit atau bahkan sudah habis maka membuat tak semangat.
Filosofi Kendi/ Tempayan
Hampir setiap rumah orang Betawi menyediakan kendi berisi air yang diletakkan di depan rumah pada tempat yang bernama tapang. Ini merupakan bentuk kepedulian sosial masyarakat Betawi terhadap kesulitan orang lain.
Air dalam kendi biasanya bebas diminum atau digunakan untuk membasuh muka dan kaki pada musafir yang lewat. Bagi orang Betawi sendiri, menyediakan air dalam kendi bukan sekadar bentuk kepedulian, tapi mencerminkan pribadi yang dinamis dan selalu siap menolong orang yang kesusahan.
Filosofi Lampu Gembreng
Rumah-rumah Betawi tempo dulu biasanya menyediakan lampu gembreng di depan rumah. Selain berguna untuk menerangi jalan, lampu gembreng juga merupakan suatu perlambang ilmu agama.
Bagi orang Betawi, ilmu agama merupakan penerangan hati dan induk dari segala macam ilmu pengetahuan. Dengan mempelajari ilmu agama Islam, orang Betawi akan dapat menyeimbangkan hidupnya dan tidak akan kehilangan pegangan dalam menjalani kehidupan.
Filosofi Kaca Cermin
Kaca merupakan benda yang selalu ada di rumah etnik Betawi. Adapun fungsinya tak sekadar untuk berhias, tapi juga bermakna kerendahan hati. Artinya janganlah orang Betawi itu suka mengkritik atau menjelak-jelekkan orang lain sebelum berkaca terlebih dahulu.
Ramadani Wahyu