Hari Lingkungan Hidup Sedunia: Jejak Tradisi Betawi Menjaga Alam

Hari Lingkungan Hidup Sedunia: Jejak Tradisi Betawi Menjaga Alam

Senibudayabetawi.comHari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Juni, merupakan momen untuk merenungkan kembali hubungan manusia dengan alam. Di tanah Betawi, terdapat kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang erat kaitannya dengan pelestarian lingkungan. 

Tak sekadar tradisi, tapi juga memuat misi dan solusi berkelanjutan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan keseimbangan alam. Tradisi-tradisi ini, diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Betawi tempo dulu dan dapat menjadi refleksi dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Dalam Ekowisata Kuliner Tradisional Betawi, Dhian Tyas Untara menyatakan kerusakan lingkungan hingga pembangunan pemukiman hingga gedung bertingkat memaksa hilangnya jejak keanekaragaman hayati di Betawi. 

Degradasi kuantitas sumber kuliner di lingkungan lambat laun akan menyebabkan hilangnya sumber keanekaragaman hayati ini. Ini seiring dengan maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat di Jakarta sehingga menggusur lahan. Itu artinya, saat beberapa jenis bahan baku mulai sulit ditemukan. 

Padahal, keanekaragaman hayati merupakan sumber untuk ragam budaya lain. Masyarakat Betawi tempo dulu sangat menggantungkan kehidupannya dari sumber keanekaragaman hayatu. Mulai dari kuliner, pengobatan tradisional, hingga atribut pendukung seni, ritual dan tradisi Betawi lain tak terlepas dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Nah, berikut ini tradisi-tradisi Betawi yabg lekat dengan semangat berkelanjutan. 

1. Nyorog

Nyorog berasal dari bahasa Betawi yang berarti nganter, menghantarkan atau mengirim. Maksud dari mengirim di sini adalah mengirimkan makanan kepada orang-orang yang lebih tua daripada kita. Misalnya, ayah, ibu, kakek, nenek maupun saudara.

Konon, tradisi yang sudah ada sejak tahun 1800 Masehi ini kali pertama dikenalkan oleh para wali Allah yang menyebarkan agama Islam dari tanah Sunda Kelapa. Tradisi ini terus dipelihara hingga masih eksis hingga saat ini.

Tempo dulu, tradisi Nyorog dilakukan dengan mengantarkan lauk pauk berupa makanan khas Betawi dengan rantang. Saat pemanfaatan plastik belum masif dilakukan, masyarakat Betawi tempo dulu menghantarkan makanan dengan rantang. 

2. Rantangan 

Seperti halnya namanya, tradisi rantangan dilakukan oleh masyarakat Betawi di setiap perayaan lebaran.

Masyarakat Betawi akan berkeliling ke rumah-rumah keluarga serta kerabat sembari membawa wadah rantang. Adapun isinya diisi yaitu beragam makanan yang khusus spesial di hari Lebaran. 

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyebut bahwa tujuan tradisi ini tak lain yaitu untuk mempererat tali silaturahmi di antara keluarga dan kerabat.

“Hari Lebaran kita bawah rantang, keliling itu. Kadang satu rantang itu isinya empat tingkat ya, itu berarti kita bisa mampir ke empat keluarga,” kata dia.

Seperti halnya tradisi Nyorog, rantangan mengemban misi pengurangan penggunaan plastik sekali sehingga mengurangi pencemaran lingkungan. 

3. Mandi Merang

Tradisi mandi merang telah populer sejak 1950-an. Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta,  masyarakat Betawi akan memadati bantaran sungai menjelang Ramadan untuk melakukan keramas massal menggunakan merang. 

Merang merupakan bekas tangkai padi kering yang dibakar, lalu direndam. Bahan tradisional tersebut digunakan sebagai pengganti sabun dan sampo.

Penggunaan merang sebagai pengganti sabun dan sampo pada masyarakat Betawi tempo dulu mampu mengurangi pencemaran lingkungan, terutama sungai. 

Tradisi merang dilakukan oleh berbagai kalangan dan usia, mulai dari anak-anak hingga lansia. Tradisi merang bermakna membersihkan diri dan hati menjelang Ramadhan.

4. Ngored

Masyarakat Betawi sangat menghargai nilai-nilai terkait leluhur. Ini tercermin dari kebiasaan mereka melakukan tradisi bersih kubur atau istilahnya ngored. 

Tradisi ini dilakukan menjelang bulan Ramadhan atau saat perayaan Hari Raya Idul Fitri. Juga biasanya dilakukan saat bulan Dzulhijjah, Rajab, Muharram, hingga bulan Syawal.

Masyarakat Betawi memandang kegiatan bersih kubur sekaligus untuk aktivitas sosial keagamaan. Adapun orang-orang yang berziarah kemudian membersihkan kuburan dari berbagai macam rumput yang sudah tinggi maupun dedaunan. 

Secara nilai-nilai leluhur, tradisi ini sekaligus juga mendoakan orang yang sudah meninggal khususnya dari kalangan anggota keluarga. Agar diampuni dosa-dosanya selama hidup di dunia.

Ramadani Wahyu

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.