Betawi dan Etnis Tionghoa Saat Imlek

Tahun Baru Imlek, Betawi dan Tinghoa Layaknya Saudara Kandung

Tahun Baru Imlek adalah hari raya juga untuk Warga Betawi (minus ibadah). Begitu pula dengan perayaan Imlek tahun ini yang tinggal di depan mata. Ketika hiruk pikuk warga Tionghoa menyambut Imlek, tak ketinggalan orang Betawi juga hiruk pikuk dengan hasil olahan bandeng hasil perburuannya.

Baca Juga: Sajian Imlek khas Betawi, Pindang Bandeng

Begitu juga dengan ‘perkawinan’ nuansa musik tanjidor dan gambang kromong serta silat Beksi mengiringi perayaan Imlek di masa lampau. Pelaku seni dari berbagai daerah—Karawang, Bekasi dan Depok berkumpul jadi satu di Jakarta. Menunjukkan eratnya Betawi dan etnis Tionghoa saat Imlek tiba

Baca Juga: Imlek, Begini Tradisi Berburu Bandeng Warga Betawi

Mereka mengamen dan menyambut angpau dengan penuh suka cita. Etnis Tionghoa layaknya saudara kandung orang Betawi. Eratnya Betawi dan etnis Tionghoa saat Imlek sangat kentara.

Demikianlah kiranya, Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Azmi Abubakar menggambarkan eratnya Betawi dan etnis Tionghoa dalam nuansa Imlek di masa lalu. Dalam Buku Oud Batavia karangan F De Haan, sambung dia sebelum Jakarta disebut Batavia dan Jayakarta, akrab dengan sebutan Pa Shia.

Sebutan Pa Shia

Sebutan tua itulah yang digunakan etnis Tiongkok untuk Jakarta. Adapun Pa Shia singkatan dari Pa, yang merupakan akhiran dari istilah Kalapa, dan Shia yaitu benteng atau semacam kota.

“Jadi kalau dulu orang Tiongkok datang ke Pa Shia, masyarakat Betawi menyambutnya seperti saudara kandung yang lama tak berjumpa. Jadi sangat meriah,” kata dia kepada senibudayabetawi.com, Rabu (10/2).

Demikian pula saat kapal Tiongkok akan ke Sunda Kelapa, orang Tiongkok berbondong-bondong antusias ingin ikut. Dan, niatnya tak hanya berdagang, tapi merayakan betul perjumpaan dengan masyarakat Betawi. Hal ini juga ditulis juga oleh Peh Pin Chow, sebagai salah satu pengikut dari Sun Yat Sen pada tahun 1909.

“Kemudian kenapa kita sebut Kelapa? Karena sejak berabad-abad lamanya nama Kelapa itu, sebagai satu negeri atau Ibukota dimana orang bebas merdeka untuk lakukan usaha (berdagang). Maka hampir setiap bulan senantiasa datang Jung-Jung (Kapal) Tiongkok yang membawa aneka warna barang perdagangan. Dengan menyebut Kelapa, kita seolah memperingati kemerdekaan negeri sendiri,” jelas pendiri Forum Pemuda Betawi ini.

Sempat Mati Suri

Namun sayangnya, keakraban antara Betawi dan etnis Tionghoa dalam nuansa perayaan Imlek sempat mengalami mati suri. Orkes tradisional Betawi hasil adaptasi budaya Eropa dan Tionghoa, tanjidor misalnya.

Yang semula berisikan rombongan besar lengkap dengan alat musik berupa tanjidor (tambun besar), terompet, clarinet, seruling serta trombone dan berkeliling mengamen tak lagi mengiringi perayaan Imlek.

Dalam “Perayaan Imlek dan Pesta Capgome”yang dimuat dalam Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian karya James Dananjaya diungkap bahwa keikutsertaan tanjidor dalam perayaan etnis Tionghoa berakhir pada 1953.

Tepatnya, saat Walikota Jakarta Raya Sudiro menyebut kegiatan mengamen tanjidor sama saja dengan merendahkan derajat orang “pribumi” karena mengemis ke etnis Tionghoa.

Setelah sempat dilarang mengamen, kelompok tanjidor tetap mengamen ketika Imlek tiba tapi di luar Jakarta. “Tanpa tanjidor, perayaan tahun baru Imlek dan pesta rakyat Capgome kehilangan pamornya,” ujar James. admin

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.