Sanggar Mpok Nori

Sanggar Mpok Nori ‘Si Noray’ Sekarang

Pigura-pigura berisikan foto almarhum Mpok Nori bersama keluarga langsung menyambut siapapun yang bertandang ke Sanggar Mpok Nori Si Noray. Kenangan semasa ia aktif menyuarakan kesenian Betawi. Guratan senyum Mpok Nori yang khas hampir semua terpampang di foto-foto itu.

“Baru sekarang ini kami mengerti arti senyum itu,” ujar anak almarhum Mpok Nori, Engkar Karmila kepada senibudayabetawi.com di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur.

Senyum misteri almarhum Mpok Nori seolah masih abadi. Layaknya motto hidupnya, “Orangnya boleh tiada, tapi seninya harus tetap ada. Tetap abadi”.

Perjuangan Mpok Nori untuk membawa nama sanggar hingga akhir hidupnya tak gampang. Bahkan di awal perjuangannya, yakni sekitar tahun 1999, di tengah kesulitan ekonomi, Mpok Nori tetap kekeuh menghidupkan sanggar.

“Kalau rombongan emak dulu itu sampai rela jalan kaki atau naik kalau nglenong ke mana-mana,” ungkap bungsu dari enam bersaudara ini.

Engkar sendiri sewaktu kecil telah akrab dengan dunia seni juga sering ikut terlibat—apakah itu menari atau menyanyi hingga Almarhum mempunyai grup lenong sendiri. Selepas sang ibu meninggal—akhir tahun 2015, ia ditunjuk menggantikan posisi pimpinan sanggar.

Sebagai penerus, Engkar tak memungkiri beban berat membawa nama besar sanggar. Terlebih, sekarang banyak sanggar bermunculan. Beragam penyesuaian dan pembaruan harus ia lakukan agar sanggarnya tak “mati suri”—mengandalkan nama besar Mpok Nori.

Lenong

“Kalau dulu mak haji pakem banget tuh pas nyanyi lenong para penyanyinya di dalam. Padahal kan tidak ada salahnya nyanyinya di luar, biar disangkanya kita main sejak sore, penonton pada datang” kata dia.

Biasanya, dalam suatu pertunjukan lenong, diawali dengan sajian instrumen gambang kromong, kemudian diteruskan dengan nyanyian dan selanjutnya pertunjukan teater lenong. Engkar melanjutkan, pertunjukan lenong hari-hari ini sering kali dimaknai sekadar ngelucu. Padahal, lenong memiliki pakem tersendiri.

Dilansir dari situs Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai dikembangkan akhir abad ke-19. Dalam pertunjukan lenong biasa diiringi dengan gambang kromong. Ini juga menunjukkan pengaruh dari luar yang dikembangkan oleh masyarakat Cina peranakan.

Sebagai pembukaan dimainkan lagu – lagu berirama Mars (Mares dalam istilah setempat) secara instrumental untuk mengundang penonton datang. 

Khas Cerita Horor

Meski ada penyesuaian dari segi perform, tapi Engkar memastikan Sanggar Si Noray tetap khas membawakan cerita-cerita bergenre horor yang asik, membuat penasaran, sekaligus jenaka—khas dari almarhum Mpok Nori.

“Kata emak, bagaimana caranya kita bikin cerita yang lain, memang lebih ke horor soalnya itu cerita sehari-hari juga kan sebenarnya. Misalnya pentas terakhir kita memainkan ‘Selendang Mayat’—bagi siapa saja yang menemukan selendang maka akan jadi mayat,” ujar perempuan berhijab ini.

Berdasarkan jenis cerita dan bahasa yang digunakan, lenong dibagi menjadi dua yakni Lenong Preman dan Lenong Denes. Lenong Preman atau biasa disebut Lenong Jago biasa membawakan lakon cerita jagoan dan menggunakan bahasa Betawi sehari-hari. Sedangkan Lenong Denes biasa membawakan lakon cerita kerajaan dengan dialog Bahasa Betawi resmi atau Melayu tinggi.

Engkar menyebut, meski bergenre horor, ia tetap memasukkan para jagoan dan gerombolan penjahat bayaran guna memicu konflik lain. “Itu juga lebih mudah dipahami penonton,” imbuhnya.

.

1 Response

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.