Wadah Kritik Itu Bernama Lenong Betawi

Media Kritik Itu Bernama Lenong Betawi

Media Kritik Itu Bernama Lenong Betawi – Posisi lenong sebagai teater rakyat Betawi memiliki peranan besar sebagai wadah kritik dalam kehidupan sosial budaya. Lontaran dialog pertunjukan lenong yang kerap kali bernada ceplas ceplos bernada humor merupakan improvisasi ‘suara’ rakyat yang sesungguhnya.

Baca Juga : Sudah Saatnya Lenong Beradaptasi

Dalam masyarakat Betawi sendiri, humor dihadirkan sebagai penyeimbang jiwa. Humor kerap kali diekspresikan sebagai wujud kritik sosial atas ketertekanan yang menimpa pada tempo dahulu. Menukil Probonegoro, dkk dalam Peranan Folklore dalam Kebudayaan: Fungsi Humor sebagai Rite dalam Kebudayaan Betawi (1987) , bentuk ketertekanan masyarakat Betawi merupakan warisan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Tepatnya, pada penerapan sistem tanah partikulir yang berlaku pada waktu itu (sejak 1620).

Masyarakat Betawi, tepatnya di kawasan ommelenden mengharuskan mereka untuk membayar berbagai jenis pajak dan kewajiban kerja rodi bagi para petani penggarap tanah itu. Sistem ini berlanjut hingga 1855 sempat dihapuskan. Namun, dilanjutkan lagi pada 1912 dan terus berlangsung hingga Jepang tiba.

Berbagai perlawanan, seperti Peristiwa Cikandi-Udik pada 1845, Pemberontakan Entong Gendut dan Entong Tolo seolah tak mampu mengubah sistem itu. Keresahan sosial imbas kebijakan itu menjadikan beban hidup masyarakat Betawi secara terus menerus.

Media Kritik Itu Bernama Lenong Betawi

Dalam Julianto Ibrahim, Teater Rakyat sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi (2006) berbagai bentuk perlawanan yang muncul digambarkan dalam alur cerita lenong. Demikian pelampiasan ketertekanan mereka yang diwujudkan dalam bentuk humor dan sindiran kondisi ketimpangan dengan sang penguasa.  

Baca Juga: Sanggar Mpok Nori ‘Si Noray’ Sekarang

Posisi lenong sangat strategis untuk menyuarakan kritik. Pasalnya, lenong sebagai teater ‘rakyat’ kerap kali diasosiasikan sebagai kaum pinggiran yang berlawanan dengan penguasa. Tak ayal di sepanjang lontaran dialog pertunjukan lenong kerap kali bernada ceplas ceplos bernada humor merupakan improvisasi ‘suara’ rakyat yang sesungguhnya.

Cerita lenong seolah mampu mewadahi menyuarakan kritik sebagai bentuk counter culture terhadap dominasi kekuasaan. Seperti halnya yang bisa kita lihat, baik dalam lenong denes maupun lenong preman. Adapun lenong denes merupakan lenong yang membawakan cerita kehidupan raja zaman dahulu. Sedangkan lenong preman membawakan lakon drama rumah tangga hingga kehidupan sehari-hari.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.