Milad Ke-109 Muhammadiyah, Ketua PWM DKI Jakarta Sebut Proses Adaptasi Muhammadiyah ke Betawi Terjadi dalam Dakwah Kultural

Milad Ke-109 Muhammadiyah, Ketua PWM DKI Jakarta (2010-2015) Sebut Proses Adaptasi Muhammadiyah ke Betawi Terjadi dalam Dakwah Kultural

Milad Ke-109 Muhammadiyah, Ketua PWM DKI Jakarta Sebut Proses Adaptasi Muhammadiyah ke Betawi Terjadi dalam Dakwah Kultural– Tokoh: Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta (2010-2015), Prof Dr. Agus Suradika

Proses adaptasi Muhammadiyah terhadap Betawi itu terjadi dalam dakwah kultural. Jangan melihat tahlilan sebagai ibadah terstruktur. Tapi itu bagian dari kebudayaan saja yang memang sangat dekat dengan Islam.

Semangat Muhammadiyah di usianya yang ke-109 tepat pada hari ini, Kamis (18/11) tak lepas dari konsistensinya dalam pembaharuan dan modernisasi beragama Islam. Muhammadiyah mengalami perkembangan dinamis seiring dengan kuatnya paham Ahlussunnah Wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah dan tradisi dalam masyarakat Betawi. Kemunculan ujug-ujug yang kerap dipresepsikan masyarakat Betawi sebagai ‘agama baru’ itu tentu mengalami berbagai penolakan.

Namun, lambat laun perkembangan Muhammadiyah di tanah Betawi mulai memunculkan harapan. Terutama seiring pesatnya pembangunan pusat pendidikan, seperti perguruan tinggi pada tahun 1955. Pendekatan humanis yang mengedepankan kultural juga dilakukan sebagai bagian dakwah Muhammadiyah.

Mengusung, Milad Ke-109 Muhammadiyah, Ketua PWM DKI Jakarta Sebut Proses Adaptasi Muhammadiyah ke Betawi Terjadi dalam Dakwah Kultural, kali ini senibudayabetawi.com  berkesempatan mewawancari,

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta, Prof. Dr. Agus Suradika.

Pertanyaan : Bagaimana perkembangan dinamika PWM DKI Jakarta, khususnya bagi masyarakat Betawi dari waktu ke waktu?

Jawaban: Itu dulu namanya Konsul Muhammadiyah di Betawi di tahun 1921. Kemudian, tahun 1955 menjadi Daerah Muhammadiyah di Jakarta, dan tahun 70-an menjadi Wilayah Wilayah Muhammadiyah di DKI Jakarta. Pada awalnya, Muhammadiyah ini menjernihkan antara budaya (terutama tahayul) yang tidak terkait dengan agama.

Pertanyaan : Bagaimana masyarakat Betawi (ahlusunnah wal jamaah) masa lalu melihat Muhammadiyah?

Jawaban: Di Betawi ini tradisi dan agama hampir tidak bisa dibedakan. Tradisi di Betawi banyak didorong oleh semangat keagamaan Islam. Mulai dari tradisi pernikahan, sunatan yang intinya Betawi dan Islam sangat dekat. Masyarakat Betawi yang memahami Muhammadiyah seolah sebagai ‘agama baru’ itu menolak kehadiran Muhammadiyah. Inilah persoalan serius kalau Muhammadiyah ingin diterima dalam masyarakat Betawi.

Masyarakat Betawi yang memahami Muhammadiyah seolah sebagai ‘agama baru’ itu menolak kehadiran Muhammadiyah. Inilah persoalan serius kalau Muhammadiyah ingin diterima dalam masyarakat Betawi.

Pertanyaan: Lantas bagaimana strategi pendekatan Muhammadiyah untuk memasyarakatkan pada masyarakat Betawi?

Jawaban: Muhammadiyah sendiri sudah mengubah strategi dakwahnya. Yang semula pendekatan hitam-putih, halal-haram tapi sekarang lebih pada pendekatan kebudayaan. Sebagaimana yang disebut Din Syamsudin itu yang berangkat dari pengalaman banyak mencetuskan dakwah kultural. Jadi kita bedakan, mana terkait tradisi kebudayaan, mana terkait agama. Ada warga Betawi yang mulai memahami bahwa Muhammadiyah adalah organisasi, bukan ‘agama baru’. Pertentangan-pertentangan tradisi keagamaan pelan-pelan luntur karena ada semangat pembangunan pendidikan yang dahsyat di tahun 1955 mendirikan universitas, dan sampai sekarang ada 5 perguruan tinggi Muhammadiyah di sini, dan diantara mereka banyak juga anak Betawi.

Pertanyaan: Apakah Profesor juga mengalami masa-masa itu?

Jawaban: saya sendiri ada dalam peristiwa itu ya. Saya asli Betawi, ketika orang tua saya, bapak saya pemuda Anshor dan ibu saya aktif di tradisi keagamaan Betawi itu justru menyekolahkan saya di sekolah Muhammadiyah. Perguruan tinggi pun saya ikut Muhammadiyah. Karena pada saat itu belum ada perguruan tinggi yang didirikan Nahdlatul Ulama. Semangatnya anak-anak Betawi sekolah di Muhammadiyah itu melihatnya sebagai organisasi Islam. Pendidikan umum diterima baik, begitu pula keagamaan.

Baca Juga: Merekam Jejak Muhammadiyah di Betawi

Pertentangan-pertentangan tradisi keagamaan pelan-pelan luntur karena ada semangat pembangunan pendidikan yang dahsyat di tahun 1955 mendirikan universitas, dan sampai sekarang ada 5 perguruan tinggi Muhammadiyah di sini, dan diantara mereka banyak juga anak Betawi.

Pertanyaan: Adakah pendekatan lain yang dilakukan Muhammadiyah?

Jawaban: Di sini saya kira, proses adaptasi Muhammadiyah terhadap Betawi itu mulai terjadi, ketika dakwah kultural. Jangan melihat misalnya kegiatan Tahlilan sebagai peristiwa ibadah yang terstruktur. Itu bagian dari kebudayaan saja yang kemudian memang sangat dekat dengan Islam. Di situlah kemudian terjadi pendekatan yang soft, terjadi proses akulturasi yang mana orang mulai memahami Muhammadiyah.

Pertanyaan: Apa wujud konkret Muhammadiyah juga melakukan hal yang sama untuk akulturasi dengan tradisi Betawi?

Jawaban: sekarang ini di perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah, anak-anak belajar mengenai kebudayaan Betawi secara mendalam. Bahkan dalam acara-acara Muhammadiyah sering kali ada perayaan palang pintu. Tapi tentu saja dengan versi Muhammadiyah, misalnya dalam pemilihan kosa kata yang digunakan untuk dialog pantun yang tetap humoris tapi lebih hati-hati dalam pemilihan kosa katanya. Tidak nyablak seperti palang pintu kebanyakan. Lalu ada batik Betawi Muhammadiyah (Babemu) yang khusus mengandung ornamen kita, Muhammadiyah.

Pertanyaan: Apa harapan untuk Muhammadiyah khususnya dalam lingkup Betawi ke depan?

Jawaban: Terjadi pemahaman pada warga Betawi bahwa gerakan Muhammadiyah merupakan gerakan yang mencerdaskan dan membahagiakan semua lapisan masyarakat. Perbedaan pada tataran budaya dan adat istiadat hendaknya tak perlu dibesar-besarkan.

2 Responses

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.