Asa Pembauran Muhammadiyah dengan Tradisi Betawi – Milad ke 109 PP Muhammadiyah yang jatuh pada Kamis 18 November 2021 telah berlalu. Namun, semangat untuk mengembangkan sikap moderta serta berprinsip dan autentik tetap digalakkan. Demikian juga asa pembauran dan pembaruan Muhammadiyah dengan tradisi Betawi yang terus terjadi selama ini.
Baca Juga: Merekam Jejak Muhammadiyah di Betawi
Awal keberadaan Muhammadiyah di Betawi tak lepas dari kali pertama didirikannya Muhammadiyah Cabang Jakarta, tepat di miladnya ke-9 pada 18 November 1921. Gagasan pendirian Muhammadiyah Cabang Jakarta diinisiasi oleh KH. Ahmad Dahlan. Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, ia menyempatkan bertemu dan memberi wejangan pada tokoh-tokoh pelopor Muhammadiyah di Jakarta. Mereka yaitu Soewito, Sardjono, dan Karosudarmo.
Dinamisme perkembangan Muhammadiyah di Betawi merupakan satu soal. Namun, asa pembauran dan pembaruan Muhammadiyah dengan tradisi Betawi soal lain yang menarik ditelisik. Ini tak lain seiring semakin tingginya concern terhadap tradisi Betawi dalam lingkup perguruan tinggi Muhammadiyah.
Ketua Pusat Studi Kebudayaan Betawi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Edi Sukardi menyatakan proses pembauran dan pembaruan Muhammadiyah dengan tradisi Betawi merupakan proses akulturasi alami seiring semakin terbukanya kedua belah pihak. “Itu artinya seni budaya Betawi bisa masuk ke Muhammadiyah, dan Muhammadiyah bisa masuk ke lingkungan Betawi,” ujarnya ditemui senibudayabetawi.com, Jumat (19/11).
Bersama Jaga Budaya Betawi
Hadirnya Pusat Studi Kebudayaan Betawi UHAMKA yang berfokus pada pengkajian dan penelitian merupakan satu ikhtiar Muhammadiyah dengan seni budaya Betawi. Demikian juga, kehadiran pelaku seni (lingkup sanggar di kampus) yang konsisten melakukan pembaruan tradisi Betawi. “Kita tetap terbuka dengan seni budaya Betawi. Tapi tetap kita lakukan modifikasi juga,” ungkap dia.
Misalnya, berbagai acara yang menampilkan seni tradisi Betawi, seperti dalam tari-tarian yang cenderung dipilih gerakan silat dibanding gerakan pinggul. Demikian dalam pementasan marawis, hadroh, hingga kasidah dengan memperhatikan modifikasi syair dan lagu yang relevan dengan moderasi Muhammadiyah.
Pusat Studi Kebudayaan Betawi UHAMKA telah aktif sejak akhir 90-an dan masih konsisten mengkaji serta menampilkan tradisi seni budaya Betawi. Pro kontra dari para sejarahwan dan budayawan Betawi sempat dirasakan sebab disebut-sebut ingin me-Muhammadiyahkan orang Betawi. Padahal, sambung Edi tantangan ke depan justru serbuan budaya dari luar Negeri sehingga membuat tradisi Betawi terancam.
“Dan, saya pikir Muhammadiyah tetap harus punya kepentingan untuk menjaga budaya, memagari masayarakat Betawi dari serbuan-serbuan budaya luar.”
Ramadani Wahyu