Senibudayabetawi.com – Bulan Syaban merupakan salah satu bulan penuh berkah dan ampunan bagi umat Islam. Ditambah lagi dengan adanya malam Nisfu Syaban setiap tanggal 15 kalender hijriah. Di bulan ini, masyarakat Betawi tak ketinggal untuk mencari berkah. Berikut kita kupas tradisi malam Nisfu Syaban dalam masyarakat Betawi.
Melansir Dakwah Kreatif Muharam, Maulid Nabi, Rajab dan Syaban oleh Udji Aisyah menyatakan nisfu dalam bahasa Arab berarti pertengahan. Sementara syabanmerupakan nama bulan ke-8 dalam kalender Hijriah.
Sejak tempo dulu, umat Islam telah menghidupkan malam Nisfu Syaban dengan berbagai macam ibadah. Mulai dari sholat tahajud, memperbanyak membaca Alquran, sholat taubat dzikir hingga bacaan sholawat Nabi.
Uniknya, tradisi malam Nisfu Syaban masyarakat Betawi bernama ruwah. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengundang keluarga besar untuk berkumpul di salah satu rumah keluarga.
Mereka biasanya menggelar selamatan dan mendoakan keluarga atau kerabat keluarga yang telah meninggal dunia.
Dalam tradisi ini, mereka percaya bahwa leluhur yang telah meninggal mendahului membutuhkan doa-doa untuk dilancarkan di alam kubur.
Tak Lepas dari Tradisi Hindu
Budayawan Yahya Andi Saputra menyatakan bahwa tradisi ruwahan tak lepas dari tradisi Hindu tempo dahulu. Konon, tradisi ini bermula sebagai bagian dari pemujaan pada para dewa karena telah memberikan perlindungan dan segala kesuburan dan kemakmuran. Akan tetapi kepercayaan ini memudar seiring masuknya agama Islam yang dibawa oleh para penyebar agama, seperti wali dan ulama.
“Kepercayaan mereka akan kekuasaan Tuhan mulai terbangun sebagai satu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Sejak itulah ruwahan beralih fungsi bukan sebagai pemujaan lagi,” ujar dia.
Tradisi ruwahan juga merupakan sebuah tradisi dari wujud rasa syukur kepada Allah SWT, yang dilaksanakan pada bulan Ruwah. Adapun waktunya yakni di antara tanggal 10-20 hijriyah dalam kalender hijriyah serta ungkapan rasa sukacita memasuki ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
Pelaksanaan Ruwahan Betawi
Masyarakat Betawi percaya bahwa menjelang bulan puasa, para arwah leluhur datang menyambangi rumah untuk menengok keluarganya. Kepercayaan seperti ini, kemudian disikapi dengan mengadakan acara Ruwahan, mengundang sanak famili,tetangga dan ustad/kyai untuk selamatan, mendoakan kerabat dan sanak famili yang telah wafat agar diampuni segala dosa-dosanya semasa hidupnya dan ditempatkan ditempat yang sebaik-baiknya.
Beberapa serangkaian acara yang dilakukan dalam acara ruwahan seperti nisfu Sya’ban (Sabanan), bersih desa, slametan, kenduren, ziarah kubur, hingga berakhir pada acara padusan (junub/mandi keramas) pada akhir bulan Syaban.
Pengingat Akan Kematian
Yahya menyebut, tradisi ini sejatinya merupakan pengingat bagi manusia akan kematian yang nyata di depan mata. Ziarah kubur, yang menjadi inti ruwahan berarti menziarahi kubur leluhur, baik kakek, nenek, ayah, ibu dan sanak saudara lainnya. “Mereka mendoakan agar arwah mereka mendapatkan keringanan azab kubur. Tapi pada prinsipnya mengingatkan pada yang masih hidup agar hati-hati merawat hidup,” kata dia.
Jika dikaitkan dengan hadist dalam nilai-nilai Islam, tradisi ruwahan menjadi pengingat untuk berbuat kebaikan dibanding keburukan. Dalam pepatah “hasibu anfusakum qabla antuhasabu” yang bermakna hitunglah perbuatan baik buruk sebelum kamu wafat. Itu artinya, baik kebaikan maupun keburukan yang dilakukan selama hidup akan dituai di alam barzah.