Senibudayabetawi.com – Pakaian tak sekadar sebagai penutup tubuh, tapi menunjukkan identitas golongan dan status sosial. Dalam masa kolonial Belanda, gaya berpakaian golongan kelas pribumi, Tionghoa dan Eropa di Batavia diatur melalui politik segregasi.
Politik segregasi merupakan kebijakan yang dibentuk guna mengatur kehidupan sosial di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial. Dalam penerapannya selain mengelompokkan tempat tinggal penduduk sesuai ras, politik segregasi juga menjadi pengatur gaya pakaian.
Dalam Gaya Pakaian Eropa pada Elite Pribumi di Batavia (1900-1942), Nadia Nur Azizah menyebut pemberlakuan khusus untuk masyarakat yang tinggal di Batavia yaitu untuk tetap mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional” sendiri. Pakaian nasional inilah didasari dengan latar belakang ras atau suku dari pemakainya.
Seperti pada catatan Tio Tek Hong (2007) seorang pemilik toko besar di Pasar Baru, bahwa etnis Cina diwajibkan untuk memelihara Thaucang dan mengenakan Pakaian Thuikhim yang dipadukan dengan celana komprang.
Adanya politik ini, dalam satu sisi menjadikan ras Eropa menjadi ras utama dengan strata paling tinggi. Terbukti, pakaian etnis Eropa dilarang dipakai oleh masyarakat yang bukan golongan mereka. Selain pemakaiannya menimbulkan anggapan keberpihakan pada Belanda, pakaian Eropa merupakan cara mengeksklusifkan diri dari masyarakat pribumi.
Menariknya, peraturan ini selama masa pemerintahan koloni sebelum awal abad 20 dikecualikan bagi mereka yang dekat dengan pemerintahan koloni. Misalnya, para ningrat dan pribumi beragama Protestan yang diperbolehkan meniru aspek-aspek gaya hidup Belanda, termasuk pakaian.
Aturan Mulai Kendur
Namun, perlahan aturan gaya berpakaian ini mulai kendur tepatnya pada akhir abad ke-19 penggunaan pakaian bergaya Eropa mulai marak. Laporan pada koran (De Locomotif (30-12-1899) menyebut bahwa hampir tiap hari Etnis Cina dan pribumi mengenakan pakaian bergaya barat.
Namun, masyarakat pribumi masih menggunakan penutup kain kepalanya sehingga menunjukkan identitas pribumi mereka. Pramoedya Ananta Toer dalam tulisan mengenai biografi Tirto Adhisoerjo menyebut, bahwa gaya berpakaian siswa di STOVIA mengalami perubahan.
Dari yang pada akhir abad 19 para siswa diwajibkan mengenakan pakaian nasional tradisional. Akan tetapi, dalam waktu kurun 10 tahun kemudian (awal abad 20) mereka mengenakan celana di bawah jas putihnya (Dijk, 2013).
Senada, James Dananjda (2013) selama tahun 1930, banyak orang dewasa di perkotaan mengenakan pakaian barat (Eropa). Lebih lanjut ia memberikan catatan bahwa ayahnya setelah tahun 1930 mengenakan pakaian seragam berupa jas Eropa berwarna putih melapisi kemeja lengan panjang, memakai dasi, serta celana panjang yang terbuat dari katun putih.