Pengaruh Kuliner Tionghoa pada Betawi

Pengaruh Kuliner Tionghoa pada Betawi

Senibudayabetawi.com – Bentuk pengaruh kuliner Tionghoa sangat melekat dalam perkembangan kuliner di Betawi. Ini karena keberadaan orang Tionghoa peranakan Betawi yang cukup lama mendiami Kawasan Betawi sehingga pengaruhnya cukup menonjol.

Misalnya dalam masakan penggunaan ebi, seperti pada beberapa kuliner Betawi lainnya menjadi salah satu ciri pengaruh bahan kuliner Tionghoa. Beberapa makanan memanfaatkan ebi yakni nasi oelam, asinan Betawi maupun laksa Betawi.

Beberapa versi menyebut bahwa kata laksa berasal dari India. Namun, penggunaan bahan-bahan seperti ebi, taoge, bihun atau soun menunjukkan pengaruh Tionghoa. Bahkan, bahan-bahan yang lekat dengan tradisi Tionghoa terlihat pada soto. Adapun Soto berasal dari serapan dialek Hokkian: Cau do (Jao To/Chau Tu, rerumputan & jeroan berempah).

Pengaruh Perayaan Imlek

Tak sebatas penggunaan bahan makanan, pengaruh Tionghoa juga lekat pada tradisi perayaan hari besar Imlek. Sebut saja dalam perayaan Sincia (Tahun Baru Imlek) yang biasanya menghadirkan sajian utama terdiri dari lauk pauk, kue-kue wajib, manisan, dan buah.

Tradisi orang Tionghoa menyajikan berbagai kuliner tersebut juga dalam meja abu leluhur. Khusus untuk sajian utama yakni berupa lauk pauk yang biasanya hadir perayaan Sincia diantaranya ca rebung iris kasar, ca rebung iris tipis, daging masak kecap (biasanya menggunakan daging babi). Ada juga sosis daging masak kecap, masakan dari kaki, masakan dari paru, masakan dari lambung, sate daging, ayam oh, opor ayam, sambal goreng (ampela, hati ayam, dan petai) dan mie goreng.

Hal penting yang juga ada dalam perayaan Sincia diantaranya kue keranjang (nien koe) dan ikan bandeng merupakan bentuk akulturasi. Jika di negeri asalnya, kue keranjang (nien koe) memiliki cita rasa yang tawar. Penyajiannya juga lebih mirip kwetiau goreng yang dimasak dengan bawang putih, daun bawang, irisan tipis daging babi, dan udang.

Kue-kue Khas Tionghoa

Umumnya kue keranjang yang beredar ialah bercita rasa manis disebabkan adanya penambahan gula jawa ataupun gula merah. Ini menjadi salah satu bentuk akulturasi antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal. Begitu pula dalam budaya kuliner Betawi ada sebuah makanan yang mirip dengan kue keranjang yaitu dodol betawi  yang ada dalam Hari Raya Idul Fitri.

Demikian dengan penyajian kue keranjang (nien koe), ada pula kue mangkok (hwat koe) dan wajik (biekoe). Jika kue keranjang disajikan merupakan simbol dari keluarga yang hidup kekal dan sejahtera. Berbeda dengan kue mangkok (hwat koe) merupakan simbol dari pengharapan.

Sementara kue wajik (bie-koe) merupakan simbol panjang umur dan usia tinggi yang mana kue tersebut disusun menjadi seperti gunung yang tinggi (Pelita Tionghoa, “Sedikit tentang sembajang” 1941). Tak tertinggal juga berbagai manisan seperti manisan nanas, tongkua, dan angco atau kitpia. Manisan ini merupakan simbol dari pengharapan agar memperoleh penghidupan.

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.