Senibudayabetawi.com – Keberagaman masyarakat di Batavia yang tak sekadar dalam hal status, ekonomi dan sosial tapi etnis dan kebudayaan memicu ketimpangan. Namun, perempuan sangat berperan penting dalam menyatukan mereka. Perempuan bahkan berhasil memengaruhi kehidupan orang Eropa dan Tionghoa sehingga membuat kehidupan mereka menyatu dengan kebudayaan di Batavia.
Pada abad ke-18, jumlah laki-laki asing jauh lebih banyak daripada jumlah perempuan asing. Itulah alasan mereka kebanyakan mencari pasangan perempuan dari kelompok Bumiputra. Namun selanjutnya, jumlah laki-laki setiap kelompok etnis meningkat pesat pada abad ke-19.
Dalam Harga diri dan prasangka: masyarakat multikultural di Batavia abad 17 sampai 19, disebutkan bahwa abad 19 ini sekaligus menjadi puncak banyak dari orang-orang Belanda dari golongan kaya mulai beradaptasi dengan gaya hidup Bumiputra. Mulai dari memakan pemakaian bahasa Melayu oleh hampir semua perempuan di Batavia. Kaum lelaki di Batavia mulai mengenakan satung, sedangkan sebagian besar perempuan di Batavia mengenakan kebaya. Meski demikian tetap terdapat variasi pembeda model pakaian kebaya dengan Bumiputra asli.
Misalnya, perempuan Eropa dan nyai yang cenderung mengenakan kebaya putih dengan tepi berenda. Kebaya perempuan peranakan memiliki ujung yang runcing dan sarung batik mereka pun memiliki warna dan pola tersendiri. Sementara para perempuan Betawi mengenakan kebaya yang lebih panjang dan warna yang lebih bervariasi.
Pengaruh Budaya dan Bahasa
Orang-orang Belanda juga mulai beradaptasi dengan gaya hidup Bumiputra seperti memakan rijstaffel, mengenakan sarung ketika berada di rumah hingga tidur siang setelah makan. Bahkan, orang-orang Eurasia miskin berbicara dalam bahasa Melayu, bukan dalam bahasa Belanda atau menggunakan bahasa Belanda dengan struktur gramatika Melayu.
Dalam hal budaya, pengaruh seni budaya Batavia juga secara tak langsung digemari oleh orang Eurasia. Mereka juga bahkan kerap mempopulerkannya, seperti keroncong dan komedi stanbul.
Hal yang sama juga terjadi pada etnis Tionghoa. Mereka terpengaruh dengan berbagai tradisi budaya dan kepercayaan di Batavia, seperti kepercayaan terhadap hantu Nusantara, konsultasi dengan dukun, dan sebagainya.
Bahasa Mandarin juga tidak lagi digunakan orang Tionghoa peranakan karena mereka lahir dan besar di Batavia dimana orang tua mereka yang berasal langsung dari Tiongkok Daratan mulai beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara.
Adapun bahasa sehari-hari yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu-Mandarin Batavia, yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Belanda, dan Hokkien (Mandarin). Orang-orang Tionghoa ini kerap menggunakan bahasa ini pada abad ke-19 dimana sejumlah orang Tionghoa peranakan menerbitkan artikel, syair, dan novel.
Sama halnya dengan masyarakat Bumiputra, orang Tionghoa sama-sama menyukai beberapa bentuk kesenian, seperti gambang kromong hingga cokek dari para gadis Bumiputra.