Senibudayabetawi.com – Semangat keagamaan masyarakat Betawi sangat terlihat dalam berbagai agenda perayaan-perayaan keagamaan yang menarik massa dalam jumlah besar. Misalnya, peringatan hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Isra Mi‟raj dan Maulid Nabi menarik ribuan muslim untuk ke masjid-masjid besar terutama bila ada penceramah yang menjadi panutan atau favorit warga.
Semenjak kecil warga-warga muslim di sekitar Batavia atau yang identitasnya biasa disebut “Slam” diajarkan untuk menjadi Muslim yang taat. Baik di sekolahan maupun di pengajian-pengajian surau, mereka ditempa oleh pendidikan non formal lainnya seperti pesantren. Ini berlaku bagi anak yang orang tuanya berprofesi sebagai petani, nelayan atau pekerja kasar lainnya umumnya perekonomian mereka cukup rendah.
Dalam penelitian K.F.Holle selama di Jawa misalnya bahwa manifestasi perkembangan Tarekat ini bisa di lihat dari tumbuhnya sekolah sekolah tradisional keagamaan muslim dan meningkatnya jumlah orang yang berangkat ibadah haji. Sartono Kartodirjo menyebut fenomena ini merupakan tanda semangat keagamaan pribumi Muslim.
Semangat dalam Perayaan Keagamaan
Tak hanya itu, semangat keagamaan juga terlihat dalam berbagai agenda perayaan-perayaan keagamaan yang menarik massa dalam jumlah besar di Batavia. Misalnya, peringatan hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Isra Mi‟raj dan Maulid Nabi menarik ribuan muslim untuk ke masjid-masjid besar terutama bila ada penceramah yang menjadi panutan atau favorit warga.
Demikian juga dengan peringatan Isra Mi‟raj yang biasanya dalam kalender Islam di selenggarakan pada tanggal 27 Rajab di masjid-masjid. Masyarakat Batavia berbondong-bondong mendatangi Masjid Pekojan untuk mendengar ceramah Isra Mi‟raj dari Sayyid Ali bin, Abd-al‟Rahman al-Habashi. Para jamaahnya banyak berasal dari luar kota (Ommelanden) Batavia,Tandjung Priok,Meester Cornelis, dan Tangerang.
Spirit keagamaan lain yang menambah semangat masyarakat Betawi yakni motivasi para Jemaah yang telah melakukan ibadah haji. Menurut van Bruinessen, motivasi mereka tak lain yakni mencari pahala lebih di tanah Suci. Pemberitaan koran Berita Nahdhatoel Oelama terbitan tahun 1940 menggambarkan kondisi jamaah haji selama masa kolonial:
“….Sesoenggoehnja soedah lama mereka itoe menderita kesoelitan dan kesoekaran dalam perdjalanannja, baik di daratan maoepoen di laoetan, karena mereka tidak diatoer dengan atoeran jang mengikuti perintah agama Islam dan menghargai derajat kaoem muslimin Indonesia”. oleh karena, “Kalaoe tidak karena seroean agama jang wadjib ditoenaikan nistjajalah mereka tidak akan melaloei djalan jang sangat sengsara itoe”.
Ramadani Wahyu