Senibudayabetawi.com – Julukan “Segitiga” di Jakarta tak hanya mengacu pada “Segitiga Emas” yang ada di kawasan Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto, Rasuna Said dan KH Mas Mansyur, tapi juga ada di Jakarta Pusat. “Segitiga Senen” begitulah nama kawasan sekitar Mal Atrium Senen di Jalan Senen Raya, Jakarta Pusat. Kawasan ini menjadi pusat belanja dan toko mewah tempat berkumpul etnis Tionghoa.
Menurut budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, muasal istilah “Segitiga Senen” bertujuan untuk mempermudah menemukan lokasi tersebut. “Nama Segitiga Senen muncul guna mempermudah orang mencari alamat atau patokan,” kata dia kepada senibudayabetawi.com baru-baru ini.
Lantas kenapa disebut segitiga? Ia melanjutkan bahwa segitiga karena merujuk pada bentuk jalan di kawasan Atrium Senen yang membentuk garis segitiga jika terlihat dari atas. Nah, sebelum maraknya bangunan pertokoan di kawasan ini banyak didiami oleh masyarakat etnis Tionghoa. Itulah kenapa di daerah ini banyak sekali rumah-rumah bergaya Tionghoa. Demikian pula mereka juga berdagang di sini.
Menariknya pula, di “Segitiga Senen” merupakan pusat berkumpulnya para seniman jalanan yang mencari inspirasi. Meski hal tersebut kemudian dibantah oleh Yahya. “Kalau para seniman di Planet Senen yang dekat dengan Stasiun Pasar Senen,” kata dia.
Segitiga Senen telah menjelma menjadi gedung serta pertokoan bertingkat. Misalnya di Hotel Oasis, Cowel Tower hingga Allson Residence.
Dalam 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Dulu, penamaan Senen diyakini berasal dari nama pasar saat kolonial Belanda. Pasalnya, kawasan ini berupa rawa dan belukar saja. Lalu menjadi tanah pertanian yang subur dan melimpah. Justinus Vinck tertarik dengan komoditas tersebut.
Maka kemudian dia mendirikan pasar di ujung selatan Jalan Gunung Sahari pada 30 Agustus 1735. Orang-orang Belanda menyebutnya Vinckpasser (Pasar Vink). Akan tetapi masyarakat pribumi lebih mengenalnya sebagai Pasar Senen karena hanya buka setiap hari Senin.
Ramadani Wahyu