Senibudayabetawi.com – Jauh sebelum banyaknya air dalam kemasan seperti sekarang, masyarakat di Indonesia, terutama Betawi memiliki kebiasaan merebus air sebelum minum. Kebiasaan ini bahkan sempat ditiru oleh bangsa Belanda yang tinggal di Batavia pada tahun 1880-an. Namun, bagaimana perkembangan air minum di Betawi era Pra Kemerdekaan?
Ini ditulis oleh penguasa sekaligus ilmuwan Inggris selama menjajah di Pulau Jawa (1811-1815), bahwa kebiasaan merebus air dilakukan untuk menjaga kesehatan. Saat itu, air di Pulau Jawa masih sangat jernih. Bahkan air sumur kemudian diperdagangkan seharga 1,5 gulden per drum (200 liter). Sementara untuk 20 liter (per kaleng) dihargai sebesar 2-3 sen.
Dalam Air Bersih: Perkembangan dan Teknologi Pengolahannya, Mastiadi Tamjidillah dan Muhammad Nizar Ramadhan menyatakan pada tahun 1918 didirikanlah PAM (Perusahaan Air Minum) Batavia.
Air baku yang digunakan pada PAM tersebut didatangkan dari mata air di Ciomas, Bogor. Karena kandungan besi (Fe) yang tinggi. Akibatnya penduduk Batavia kurang menyukai air sumur bor yang dibangun di PAM Batavia. Bahkan pada saat dipakai untuk menyeduh teh, airnya berubah warna menjadi hitam.
Sumber Air di Kali Ciliwung
Awalnya, air yang bersumber dari Kali Ciliwung merupakan sumber air minum bagi orang-orang yang tinggal di Jakarta, karena kondisi airnya yang memang sangat jernih. Air sungai tersebut ditampung di sebuah waduk yang dalam bahasa Belanda disebut waterplaats.
Mulanya, waduk dibangun di dekat benteng Jacatra di utara kota. Selanjutnya dipindahkan ke kali di daerah Molenvliet (sekarang lebih dikenal dengan nama Harmoni), tak jauh dari Istana Negara yang sekarang. Waduk itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian tiga meter.
Masyarakat lalu menyebut tempat tersebut pancuran – yang oleh lidah Betawi ketika itu berubah menjadi pancoran. Dari sana air diangkut oleh para pedagang air untuk dijajakan di daerah kota.
Karena penyediaan air tersebut tanpa melalui pengolahan maka pada akhir abad ke-18 dan dasawarsa pertama abad ke-19, mulailah muncul wabah penyakit menular. Misalnya, mulai dari disentri, tifus, bahkan kolera. Belanda juga membangun berbagai sarana penyediaan air minum di kota-kota lain, walau dengan sarana yang masih sederhana.
Pembangunan Saluran Air
Demi memenuhi kebutuhan air minum dan pengairan, sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km dari sebuah bendungan di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah.
Pada 1890 di Surabaya, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air Umbulan di Pasuruan. Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Dan pada tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya.
Pembangunan sarana air minum pada masa itu memang diprioritaskan untuk kebutuhan bangsa Belanda dan lapisan masyarakat atas yang berkuasa waktu itu. Sedangkan masyarakat yang berkedudukan sosial rendah dan ekonomi lemah jauh dari perhatian.
Mereka hanya memanfaatkan air sumur dangkal, air sungai dan semacamnya, yang tentu saja tidak terjamin kesehatannya.
Sistem tata kelola penyediaan air minum di berbagai kota diatur oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membentuk badan hukum berupa bedrijven (perusahaan) atau diensten (kedinasan).
Ramadani Wahyu