Senibudayabetawi.com – Pada tahun 1500-an, tepatnya di Pulau Jawa, sejarah kebaya dikenal sebagai pakaian khusus keturunan raja. Mulanya, pakaian kebaya saat itu ditentukan oleh kelas sosial dan memiliki keragaman bahan dan corak mulai dari beludru, berbagai jenis sutra, dan kain halus lainnya.
Kelas sosial sangat menentukan seseorang dalam memakai kebaya. Kebaya yang digunakan oleh keluarga kerajaan dan bangsawan terdiri dari renda, beludru, atau sutra. Wanita keturunan Belanda atau asing mengenakan kebaya katun dengan bentuk dan potongan yang lebih pendek.
Keturunan Eropa lain yang tinggal di Indonesia saat itu juga mengenakan kebaya. Biasanya kebaya yang mereka kenakan berbahan katun halus dengan hiasan renda di ujungnya. Sedangkan masyarakat bumiputra biasanya mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan katun sehari-hari atau kain tenun yang murah.
Kebaya Encim dan Kutu Baru
Kebaya encim dan kebaya kutu baru adalah dua gaya kebaya yang paling sering dikenakan. Wanita keturunan Tionghoa sering mengenakan kebaya yang disebut “encim”, yang biasanya dibordir dan diberi hiasan. Kebaya kutu baru adalah kebaya pendek bercorak model tunik yang penuh motif semarak. Panjang kebaya kutu baru sebelumnya mencapai mata kaki pemakainya, namun berubah seiring berjalannya waktu.
Nusantara Melayu telah mengadopsi kata “kebaya” sebagai kata dan pakaian populer sejak awal abad ke-20, dan disebarluaskan melalui media seperti surat kabar dan majalah. Di Malaysia dan Indonesia, kebaya memiliki pengaruh yang berbeda dan bergabung dengan simbolisme nasionalis yang sedang berkembang. Judi Achjadi, seorang sejarawan tekstil, menyatakan bahwa “kain dan kebaya adalah pakaian yang dikenakan oleh sebagian besar wanita Indonesia dan telah bertahan sejak tahun 1976”
Saat ini pakaian tersebut menjadi pilihan utama para perempuan di elite politik Indonesia. Itu juga tertanam kuat dalam bahasa Melayu Baba era ini dalam masyarakat Peranakan, dan pada akhir abad ke-20; itu dihormati sebagai ikon budaya Peranakan.
Wanita Belanda di Indonesia senang mengenakan sarung batik dan kebaya untuk bersantai di awal abad ke-20. Pinggir badan kebaya selalu terbuat dari katun putih sederhana, dan kerah serta ujung lengannya dihiasi dengan sulaman renda. Seiring berjalannya waktu, wanita Belanda berangsur-angsur berhenti mengenakan kebaya yang indah ini, dan mulai tahun 1930-an, wanita Tionghoa ras campuran mulai memakainya.
Ramadani Wahyu