Menyibak Jawara dalam Masyarakat Betawi

Menyibak Jawara dalam Masyarakat Betawi

Senibudayabetawi.com – Citra jawara mengalami dinamika. Jika saat ini kita melihat jawara dalam tradisi palang pintu sebagai sosok yang jago silat atau maen pukul sekaligus kocak menghibur. Justru tempo dulu jawara dalam masyarakat Betawi lekat dengan kisah heroik melawan penguasa hingga kebengisan pada masyarakat pribumi.

Maen pukulan bukan hal asing bagi masyarakat Betawi. Sesuai dengan prinsip masyarakat Betawi yang berpegang pada ngasosi alias ngaji, sholat dan silat telah menjadi kewajiban, khususnya anak laki-laki. Kewajiban ini, terutama berlatih silat bertujuan sebagai bekal untuk dirinya agar selalu bisa menjaga diri serta keluarganya dari hal yang tak diinginkan.

Sementara secara bahasa, jawara berasal dari kata “juara” yang artinya pemenang. Ini memang sesuai dengan salah satu karakter jawara yang memiliki motivasi untuk mencapai kemenangan. Versi lain menyebut jawara bermula dari istilah “jaro” yang artinya seorang pemimpin desa.

Kisah Heroik Jawara

Dalam masyarakat Betawi, jawara dikenal sebagai seorang yang diberikan kepercayaan untuk menjaga keamanan serta kedamaian kampung. Tak ayal jika jawara Betawi dipandang sebagai orang yang disegani, gagah perkasa dalam menggunakan ilmu silat. Lebih jauh, tradisi masyarakat Betawi tempo dulu yang selalu mencarikan lawan bagi seorang jawara untuk menguji keilmuannya.

Ada banyak kisah mengenai kejawaraan dalam masyarakat Betawi. Salah satu yang terkenal yakni kisah Si Pitung dengan banyak versi yang memang membela rakyat kecil demi melawan kekuasaan orang Eropa. Tapi ada pula jejak kejawaraan yang menyisakan kebengisan justru pada masyarakat pribumi itu sendiri.

Jawara sebagai Centeng Pemungut Pajak Tanah Partikelir

Guna menutupi kekurangan biaya mengantisipasi tentara Inggris untuk merebut wilayah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Herman Willaim Daendels menemukan jalan pintas untuk menjual tanah yang ada di Batavia dan sekitarnya pada berbagai kalangan, baik Eropa, Arab, Cina dan pribumi. Langkah ini mengakibatkan maraknya kemunculan tanah partikelir.

Saat ada pemungutan pajak dari penduduk maka hasil dari pajak itu akan masuk ke kantong tuan tanah tersebut. Boleh dikatakan bahwa tanah partikelir adalah sebuah pemerintah di dalam pemerintah. Golongan yang banyak memiliki tanah partikelir di wilayah Batavia dan sekitarnya adalah Eropa dan Cina.

Adapun hasil uang yang diperoleh Daendels berhasil digunakan untuk menguatkan sisi militer seperti pasukan baru, membangun benteng dan senjata hingga pembuatan jalan Anyer Panarukan.

Tanah partikelir dapat juga digunakan ke dalam beberapa bentuk seperti perkebunan komoditas ekspor, disewakan pada orang lain utnuk dijadikan lahan pertanian serta menarik kekayaan dari pribumi yang tinggal di atas tanah partikelir tersebut.

Pungutan tersebut adalah memberikan seperlima dari hasil panen dan bekerja satu hari tanpa diberikan upah demi keperluan tuan tanah. Para penduduk pun tidak dapat bekutik sebab penguasa tanah atau tuan tanah umumnya menggunakan jasa para jagoan atau jawara untuk memaksa penduduk setempat. Saat para jawara terikat pada tuan tanah maka mereka memiliki gelar mandor atau centeng.

Jawara dalam Masyarakat Betawi dan Tradisi Palang Pintu

Namun lambat laun, pandangan terhadap status jawara yang sebelumnya menyeramkan justru berubah. Dalam Rekonstruksi Sosial Jawara melalui Tradisi Palang Pintu Betawi, perubahan jawara terlihat pada tradisi palang pintu Betawi yang justru memperlihatkan peran jawara yang cenderung memperlihatkan kehumorisan atau sifat jenaka baik dari ucapan (melalui pantun), gerakan yang dianggap lucu.

Menurut Zahrudin Ali Al Batawi, kegiatan palang pintu Betawi merupakan campuran dari beberapa seni atau tradisi yang sudah ada, seperti pantun, pencak silat, dialek Betawi dan humor. Selain sebagai sarana hiburan para tamu undangan, palang pintu dilakukan guna menyampaikan sebuah nilai moral, agama, dan norma dalam masyarakat Betawi.

Tradisi Palang Pintu

Palang pintu Betawi merupakan tradisi yang telah dilakukan bertahun-tahun untuk memeriahkan acara pernikahan atau acara formal lain. Tradisi palang pintu bukan merupakan tradisi yang ujug-ujug hadir, tapi berproses, bagian dari budaya Betawi.

Ritual palang pintu Betawi juga melibatkan jawara baik dalam penyelenggaraan acara palang pintu maupun di balik layer. Dalam acara itu, terdapat peran jawara dimana ia memainkan pencak silat dan bertarung dengan jawara lain.

Sementara di balik layar, terdapat jasa para jawara itu sendiri. Adapun jasa dari jawara merujuk pada keterkaitan antara ritual palang pintu dengan padepokan pencak silat. Maraknya kelahiran tim palang pintu seiring maraknya pertumbuhan perguruan pencak silat. Perguruan pencak silat menjadi tempat bernaung para jawara.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.