Bukan Kerajaan, Inilah Pola Kepemimpinan Betawi

Bukan Kerajaan, Inilah Pola Kepemimpinan Betawi

Senibudayabetawi.com – Terlahir karena percampuran genetik atau akulturasi budaya dari berbagai etnis, suku Betawi diyakini berasal dari kata Batavia. Adapun nama ini berasal dari Belanda khusus untuk Jaya Karta atau Jakarta. Sejak semula, masyarakat Betawi tak terbiasa dengan pola hidup dan kepemimpinan kerajaan, tapi lebih ke informal dengan kepemimpinan guru, ulama dan jagoan.

Penyesuaian lidah masyarakat lokal menyebut nama Batavia menjadi Batavi, lalu berubah menjadi Batawi atau Betawi. Masyarakat di wilayah ini kemudian melebur menjadi suku serta identitas baru bernama Betawi.

Adapun penggunaan kata Betawi sebagai suku berawal dengan pendirian organisasi bernama Pemoeda Kaoem Betawi pada 1923 atau seratus tahun lalu.

Dalam Upacara Daur Hidup Adat Betawi (1961) Yahya Andi Saputra menyatakan sejak semula, masyarakat Betawi tak terbiasa dengan pola hidup dan kepemimpinan kerajaan. Itulah kenapa ini membentuk pola adat Betawi yang jauh dari kata rumit seperti halnya tradisi keraton. Demikian, masyarakat Betawi lebih mengenal pola kepemimpinan guru atau ulama atau jago atau jagoan dibanding kepemimpinan formal, raja, dan bupati.

Guru atau ulama yang didengar perkataan dan nasihatnya, diikuti tingkah laku dan dimintai perintahnya, ditunggu fatwanya. Maka, jika masyarakat Betawi ingin menikahkan putra-putrinya, mau membangun rumah, berobat, memprait harta warisan, menyelesaikan konflik antarwarga, terlebih dahulu mereka ke ulama atau guru. Sebab, masyarakat Betawi menyadarkan besar pada ulama atau guru. Sementara itu jago atau jagoan dipandang karena kemampuannya dalam ilmu bela diri dan keberaniannya ke medan tempur.

Namun, peran ulama serta para jago belum cukup diandalkan untuk membangun budaya yang mapan. Sebuah kesenian akan mampu bertahan dan meremajakan personalianya lantaran ia mendapat kepercayaan masyarakat pendukungnya. Kesenian itu tetap ditanggap dan ditonton. Bila ruang tanggap dan tontonan sudah tak lagi mampu memberikan keleluasaan pada seniman maka lambat laun kesenian akan tutup usia.

Pengaruh Kuat Ulama dan Jagoan

Baik ulama maupun jagoan memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Betawi. Itu tak lain karena berkat kharisma yang dimilikinya. Ulama tak sekadar dikenal sebagai ahli dalam ilmu beragama, begitu halnya dengan jagoan yang tak sekadar dikenal kekuatan maen pukulnya.

Kedudukan peran kepemimpinan ulama dan jagoan Betawi terbentuk melalui proses sejarah yang panjang sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa kolonial misalnya, pemberontakan panglima perang dari Klender, Haji Darip yang terbukti mampu mengerahkan pasukan jagoan mengalahkan pasukan Belanda. Haji Darip tak sekadar dikenal sebagai pemimpin jagoan di Klender, tapi ia juga disegani karena kepiawaiannya dalam menyebarkan ilmu agama.

Tak hanya itu, kedudukan para jagoan atau jagoan Betawi juga kerap dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk memecah belah melalui politik devide et impera. Dalam Maen Pukulan Betawi Pencak Silat Khas Betawi karangan G.J Nawi disebutkan bahwa pemerintah kolonial merekrut orang-orang Indonesia yang memiliki kepandaian seperti jago guna diadu.

Orang-orang ini dijadikan alat penguasa di tanah-tanah perkebunan dan umumnya dipekerjakan sebagai mandor, centeng, hingga tukang pukul. Mereka juga tak jarang dijadikan kedudukan resmi seperti Wijkmeester (tuan Bek).

Peranan pemimpin guna memastikan kehidupan dalam masyarakat kian penting, baik itu dalam lingkup besar hingga kecil. Misalnya, dalam tingkat kelurahan dipimpin oleh lurah, dan di bawahnya terdapat pulo atau kampung yang dipimpin mandor. Dan level paling bawah diduduki oleh pemimpin informal.

Dalam ranah kepemimpinan informal inilah para ulama dan jagoan Betawi menduduki peranan yang penting. Berkat kharismanya yang dimiliki, mereka dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya.

Ramadani Wahyu

Leave a Reply

SEKRETARIAT REDAKSI

Jl. H. Sa’abun No.20, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.