Senibudayabetawi.com – Dalam pengertian yang sempit, sebagian orang berpendapat, etnis Betawi merupakan bangsa Betawi Melayu beragama Islam. Kendati demikian, orang Betawi sangat terbuka dan toleran terhadap masuknya para pendatang dan kebudayaan dari wilayah lain. Mulai dari pasukan Mataram hingga para pendatang baik dari Eropa, Arab, Cina, hingga India. Wilayah ini bahkan telah lama menjadi pusat perdagangan Internasional.
Berawal dari pelabuhan Sunda Kalapa, semasa Kerajaan Pajajaran hingga abad 15, kemudian (Kraton) Jayakarta di era Kesultanan Banten abad 16. Hingga akhirnya menjadi Kota Batavia dalam tiga abad terakhir abad 17-19 sebelum akhirnya menjadi Kota Jakarta (abad 20) ketika Indonesia Merdeka.
Berbagai pengaruh budaya luar seperti seni, bahasa, kuliner, pakaian, hingga agama turut mengiringi perkembangan di Betawi. Karena sifat keterbukaannya, bahkan pengaruh dari luar ini bisa masuk tanpa paksaan. Berikut simbol-simbol budaya yang mencerminkan keterbukaan masyarakat Betawi terhadap pengaruh luar.
Simbol Keterbukaan Orang Betawi
Dilansir dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jakarta, salah satu simbol keterbukaan orang Betawi sangat lekat tercermin pada kembang kelapa. Kembang kelapa berupa hiasan terbuat dari lidi, kemudian dililitkan atau dibungkus dengan kertas warna-warni.
Dekorasi ini kerap digunakan dalam berbagai acara kebudayaan Betawi, seperti pementasan ondel-ondel hingga acara pesta ngarak penganten hingga sunat. Kerajinan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2017 ini merupakan simbol keterbukaan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari.
Adapun variasi warna pada deorasi kembang kelapa ini menyimbolkan keberagaman dan multicultural perkembangan budaya Betawi. Selain itu, kembang kelapa memuat filosofi kemakmuran dan simbol kehidupan manusia yang bermanfaat layaknya pohon kelapa.
Keterbukaan sikap masyarakat Betawi juga tercermin dalam tradisi duduk di taman pengantèn atau sebagian masyarakat Betawi menyebutnya duduk di puadè. Adapun upacara ini merupakan salah satu rangkaian dari upacara pernikahan setelah upacara buka palang pintu dan ijab kabul.
Pengantin laki-laki dalam acara ini mengenakan pakaian adat carè haji, yakni berupa jubah panjang warna cerah, gamis, selempang, dan alpie (sorban sebagai penutup kepala yang ditambah dengan hiasan bunga melati). Pengantin perempuannya mengenakan pakaian carè cine, yakni berupa roban tipis, tuaki (baju bagian atas), kun (rok yang melebar dibagian bawahnya), teratai betawi (hiasan penutup dada), alas kaki, dan riasan kepala.
Pakaian carè haji dan carè cine merupakan salah satu bukti keterbukaan akulturasi dari kebudayaan bangsa Arab dan komunitas Tionghoa, yang dahulu sampai kini menjadi pakaian adat Betawi yang dipakai ketika upacara duduk di taman pengantèn berlangsung.
Ramadani Wahyu