Senibudayabetawi.com – Bagi orang Betawi, dodol agaknya merupakan makanan tradisional Lebaran paling “top” yang perlu dihidangkan pada tamu yang datang bersilaturahmi. Uniknya masyarakat Betawi percaya bahwa saat membuat dodol pantang berkata kotor.
Meski ada makanan-makanan kecil lainnya, seperti wajik dan geplak, tapi Lebaran kurang afdol rasanya jika dodol tak dihidangkan. Terlebih bagi mereka yang mempunyai anak-anak.
Justru saat harga beras mahal, pembuatan dodol justru dianggap sebagai prestise tersendiri. Tak jarang orang membuat sedemikian banyak dodol hanya untuk dibagi-bagikan pada para tetangga dan sanak saudara.
Tidak diketahui secara pasti kapan mulainya dodol dianggap sebagai jajanan paling “top” di samping ketupat. Namun, dodol sudah ada sejak tempo dulu.
Menariknya saat membuat dodol Lebaran mampu menghadirkan nuansa kegembiraan tersendiri bagi masyarakat Betawi. Bahkan, pekerjaan ini rela mereka kerjakan beramai-ramai selama sehari semalam.
Di pagi hari, ibu-ibu sudah mulai memarut kelapa membuat santan, menumbuk tepung beras dan ketan serta membuat gulanya. Baru saat malam tiba, bahan-bahan ini diolah dan diaduk dalam wajan besar di atas kayu pekerjaan ini dilakukan saat malam.
Sebab, waktu itu para bapak dan pemuda sudah kembali dari kantor, ladang, atau sawah mereka masing-masing.
Mereka semua berkumpul, baik lelaki dewasa maupun anak-anak dan perempuan bergembira ria, diterangi api pembuat dodol dan lampu tempel atau petromaks. Terutama bagi anak-anak yang mulai tak sabar untuk mencicipinya begitu dodol matang.
Kendati dilingkupi nuansa suka cita, tapi tak seorang pun boleh melupakan pantangan yang menjadi syarat dalam acara pembuatan dodol.
Pantang “Ngomong Jorok”
Pembuat dodol pantang untuk “ngomong jorok”. Bahkan, celaanpun tak boleh diucapkan. Jika sampai kata-kata semacam itu terlontarkan maka mereka berkeyakinan bahwa nantinya ada kemungkinan dodol tidak jadi. Seluruh jerih payah sehari semakam akan berujung sia-sia.
Karena pembuatan dodol dilakukan hanya setahun sekali maka masyarakat umumnya tidak mempunyai wajan atau kuali sendiri. Biasanya mereka menyewa dengan rentang harga Rp 200 hingga Rp 300 untuk sekali masak. Ukuran wajan atau kuali itu sendiri cukup besar bahkan mampu menampung hingga 12 liter hingga 25 liter.
Biaya untuk bahan-bahan mentahnya pun cukup besar yakni Rp 12000 hingga Rp 13000 sebab membutuhkan bahan yang cukup banyak.
Ramadani Wahyu