Senibudayabetawi.com – Rumah adat Betawi memiliki karakteristik yang cukup unik dan menarik. Ini karena rumah adat Betawi dipengaruhi oleh berbagai budaya lokal, termasuk Jawa dan Sunda.
Posisi geografis kawasan Betawi yang berada di tengah-tengah wilayah Bumi Parahyangan sehingga memungkinkan interaksi dengan penduduk berbudaya Sunda sangat intens. Demikian pula dengan Jawa.
Dalam Rumah Etnik Betawi (2013), pengaruh Jawa pada arsitektur rumah Betawi tampak jelas pada rumah-rumah di kawasan yang dulunya dikuasai oleh pasukan dari Demak dan Cirebon yang berbudaya Jawa. Imbasnya, rumah-rumah Betawi tersebut mempunyai desain yang hampir mirip dengan rumah joglo di Jawa Tengah.
Diketahui bahwa rumah joglo merupakan rumah penduduk Betawi yang masih keturunan dari keluarga kerajaan dari keraton Jawa. Demikian keberadaan rumah joglo merupakan suatu rekam jejak adanya penduduk Betawi yang masih keturunan langsung keluarga kerajaan atau keraton Jawa.
Uniknya, dalam budaya Jawa, keluarga yang masih keturunan dari raja hanya boleh tinggal di dalam keraton. Namun, ini tak berlaku bagi rumah joglo Betawi.
Rumah Adat Betawi Dipengaruhi Jawa
Rumah joglo Betawi ini merupakan rumah keluarga kerajaan di Jawa yang telah beradaptasi dengan lingkungannya. Bahkan, konsep arsitekturnya telah ditiru oleh masyarakat Betawi lainnya.
Nah, rumah joglo juga tersusun menjadi tiga deretan atap limas, dengan satu atap limas tambahan yang lebih kecil di belakang yang merupakan bangunan dapur (padu). Di daerah Jawa, rumah limas demikian disebut dengan rumah limasan endas telu sebab mempunyai tiga atap limas yang berderet ke belakang.
Menariknya, konstruksi rumah joglo Jawa sedikit banyak ikut mempengaruhi rumah Betawi, terutama bagian konstruksi atapnya. Ini dikarenakan rumah Betawi juga mengenal rumah joglo yang dari bentuknya yang sangat mirip karena sama-sama beratap limas dan menjulang ke atas.
Perbedaan mencoloknya terletak pada potongan rumah joglo etnik Jawa yang pada bagian tiang utama penopang struktur atapnya merupakan unsur yang mengarahkan pembagian ruang pada denah. Sedangkan pada potongan rumah joglo Betawi tidak nyata.
Bangunan lain yang mendapat pengaruh gaya Jawa (Demak) terlihat dari bangunan masjid yakni pada ciri khas tiga bubungan atapnya. Masjid-masjid tua berarsitektur etnik Betawi ada di berbagai tempat seperti Masjid Al Alam di Marunda, Clincing yang didirikan pada abad XVII.
Hanya, bangunan masjid tersebut mempunyai kubah berbentuk cungkup yang terpisah di puncak atap. Ini merupakan salah satu ciri khas bangunan masjid yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan masjid lain di Jakarta.
Pengaruh Unsur Sunda
Secara etnik, rumah Betawi sama dengan rumah adat Sunda. Adapun rumah Betawi juga memakai bahan kayu atau bambu dengan bentuk panggung yang mempunyai tinggi antara 0,5 hingga 1 meter dari permukaan tanah. Bahkan di berbagai tempat ada yang tingginya mencapai 1,8 meter.
Rumah kolong atau panggung ini banyak dijumpai terutama di daerah Betawi pinggir mengingat orientasi penduduknya lebih dekat dengan pusat kekuasaan di Pajajaran yang beretnis Sunda.
Tak sekadar kolong. Kolong ini umumnya digunakan untuk mengikat berbagai binatang peliharaan, seperti sapi, kuda, kerbau, hingga kambing. Selain itu, juga bisa dimanfaatkan untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti garu, bajak, hingga cangkul.
Pada rumah Betawi, kolong ini tak digunakan untuk mengikat ternak seperti halnya di Sunda. Namun, lebih bertujuan untuk menghindari air sungai yang meluap. Bentuk rumah panggung dengan kolong ini mensyaratkan adanya tangga yang biasanya terbuat dari kayu atau bambu.
Di Jawa Barat tangga ini disebut dengan golodog. Adapun anak tangga golodog biasanya tak lebih dari tiga buah dengan fungsi sebagai pembersih kaki bagi orang yang akan naik ke dalam rumah. Sementara di Betawi anak tangga ini dikenal dengan balak suji. Adapun balak artinya bencana, sedangkan suji berarti penyejuk. Itu artinya balak suji berarti penyejuk yang bisa menolak bencana dalam rumah tangga.
Ramadani Wahyu